Hello Again - p19

78 22 6
                                    

-

Sean khawatir dan juga bingung karena keberadaannya disini. Irene mengerjap tersadar dan balik menatapnya dengan sendu, kosong seperti tersesat. Air mata itu membuat dada Sean terenyuh sesak. Ia tidak bisa lagi membuat senyum di wajah Irene saat berada di dekatnya. Sean menyesal dan sangat ingin untuk menenangkannya dalam pelukan. "Irene..."

"Tuan Sean.." panggilan Dokter John menyadarkan mereka. "Maaf Tuan Sean, tapi dia tidak bisa lagi bertahan." ia menggeleng kepada Sean setelah memeriksa nadi Wendy dan memastikan kematiannya.

Waktunya sudah tiba. Dokter dan beberapa suster terdiam berduka. Sean tertegun mendengar berita itu. Sejenak ia tidak bisa berpikir. Wanita yang ia sayangi sebagai saudara kandung itu sudah pergi untuk selamanya. Mereka bahkan belum bicara dan Wendy yang tidak sempat berpamitan dan melihat wajah putrinya untuk terakhir kali. Irene memperhatikannya diam-diam. Entah apa yang ada dipikiran Sean sekarang tapi entah kenapa ia juga ingin tau itu. Apa Sean bersedih? Tangisan sedih dari gadis kecil yang terus memanggil ibunya itu menarik perhatian Irene selanjutnya. Ia menoleh pada Lara dan Irene kecil di sudut ruang, berpelukan menguatkan satu sama lain.

Sean melangkahkan kakinya kemudian duduk ditepi ranjang perlahan, menatap sendu wajah Wendy yang pucat.

"Jangan khawatir..." gumamnya. Sean mengecup kening Wendy untuk yang terakhir kalinya. Irene menunduk. Setelah semua yang terjadi, hatinya masih tidak bisa terima jika Sean melakukan hal-hal manis kepada wanita lain. Masih merasa dikhianati. Bahkan pada wanita yang sudah mati? Irene menarik nafas dalam karena perasaannya. Ia bisa gila. "...aku akan menjaga Irene." ia berjanji sambil tersenyum kecil.

Sean membiarkan dokter dan suster untuk mengurus Wendy. Mencatat tanggal dan waktu kematiannya. Melepaskan alat-alat itu dan terakhir menutup tubuhnya dengan selimut rumah sakit. Irene melihat Sean yang diam-diam mengusap sebelah pipinya dan mendesah pelan. Apa Sean menangis? Irene mendengus dan mengusap wajah sembabnya, ia melihat ke atas ranjang sekali lagi. Apa semua ini nyata? Apa selanjutnya?

"Terima kasih, Irene." ucap Sean menghampirinya. Irene melihat tangan yang kini dengan berani menggenggamnya tanpa permisi. Ia rindu sentuhan itu tapi kenapa ia tidak bisa menggenggam balik tangan itu seakan sarafnya terputus. "Tiga tahun ini, doanya disetiap ulang tahun adalah untuk bertemu denganmu. Terima kasih karena kau sudah mengabulkannya dan membebaskannya dari rasa sakit. Terima kasih." Sean mengangguk, senyumnya samar. Irene hanya menatapnya. Apa ia sudah melakukan hal yang benar dengan datang kesini, mengabulkan doa Wendy dan memberinya maaf? Tatapan sendu yang menyimpan luka itu terus mengingatkan Sean dengan masa lalu mereka, senang dan dukanya.

"Aku tidak melakukan ini untuk siapa-siapa." dinginnya dengan suara serak.

"Maafkan aku, Irene." lirih Sean. Air mata Irene jatuh untuk kesekian kalinya hari ini. Untuk apa kata maaf itu? Untuk siapa sekarang? Mata sembabnya menatap mata nanar milik Sean yang sama-sama merah darah.

Irene tidak tahan, kepalanya sangat pusing dan dadanya semakin sesak. Sudah cukup untuk hari ini. Ini yang terakhir, sudah selesai. Ia pergi dari hadapan Sean, dari ruangan yang bisa membuatnya gila jika berlama-lama.

"Irene, tunggu!" Sean mengejarnya keluar. Khawatir dengan keadaannya sekarang dan ia tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk. "Irene—" satu tamparan kuat itu mendarat di pipi kanannya. Ia terdiam, perlahan melepaskan genggamannya dilengan Irene. Sean tau dirinya sudah melewati batas.

"Berhenti disini, Sean." gumamnya tegas tapi tatapan lembut yang bergetar itu tidak bisa berbohong. Ia panik. Takut dengan perasaannya sendiri sekarang. Kembali dekat dengan pria yang mampu mengubah pikirannya lagi tentang cinta dan hidup. Pria yang juga dengan tega sudah melukainya. "Aku mohon..." tangan Irene lalu terangkat, tidak ragu menyentuh pipi Sean yang memerah karena tamparannya. Ia terpaksa karena ia tau Sean tidak akan berhenti. Sean dan dirinya harus berhenti untuk masa depan mereka sendiri.

Sean tidak tahan untuk tidak memejamkan matanya sesaat, merasakan kehangatan itu mengalir keseluruh tubuhnya. Ia merindukan setiap sentuhan dan perhatian Irene. Ini terasa seperti déjà vu saat mereka berada di restoran dimalam perpisahan itu. Irene membenarkan kerah mantel Sean yang kini menatapnya dengan lekat dan juga rindu. Jika memang dijual, Sean akan rela membayar berapapun harganya hanya untuk mendapatkan momen kedekatan seperti ini lagi. Ia tidak ingin ini cepat berakhir. Ia tidak ingin ditinggalkan sendiri lagi. Irene tersenyum kecil dan balas menatapnya dengan mata sembab dan teduh namun penuh dengan kesedihan.

"Selamat tinggal, Sean." ia lalu melangkah menjauh dengan yakin. Urusannya disini bersama Wendy sudah selesai. Ini yang terakhir.

"..aku harap kau selalu bahagia." ucap Sean tulus, air matanya jatuh dengan berat. Irene mendengarnya dan berhenti ditengah jalan tapi ia tidak sanggup berbalik badan. Ia selalu ingat karena itu adalah kata terakhirnya untuk Sean.

Kalau begitu jangan pergi, karena hanya kaulah satu-satunya kebahagiaanku.

Untuk kedua kalinya dihidup Sean, Irene pergi tanpa menoleh, lepas dari genggamannya. Dan lagi, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Dulu dirinyalah yang memohon pada Irene untuk tetap tinggal dan sekarang Irene memohon kepadanya untuk pergi. Sean tersenyum pahit. Ia masih menjadi pria yang bodoh.

"Oh, Irene, kau tidak apa-apa?" Gabi yang sejak tadi menunggu sangat khawatir apalagi melihatnya yang menangis sekarang. Ia sudah menduga akan seperti ini. Irene tidak menjawab, hanya melewatinya dengan terburu-buru.

Gabi menatap kesal pada pria didepannya kini. Mereka dulu berteman baik tapi tidak lagi. Ia juga merasa terkhianati setelah apa yang dilakukan Sean pada Irene. Walau keinginannya sangat besar untuk bicara ataupun memukul wajah Sean sepuasnya karena sudah membuat Irene menangis kali ini, tapi kondisi sahabatnya lebih penting dari itu. Gabi menyusul Irene dengan cepat.

Mendesah berat, Sean hanya bisa menatap punggung Irene yang semakin menjauh dan akhirnya menghilang dari penglihatannya. Ia harap Irene akan baik-baik saja.

"Irene? Apa yang kau minum?—" Gabi kaget dan ingin melarangnya tapi terlambat. Irene menelan dua butir obatnya. Ia membutuhkan obat itu sekarang. Untuk meluruskan pikirannya. Menenangkan hatinya dan juga tubuhnya yang tegang. "Ya Tuhan, Irene! Ayo ikut aku." ia membantu Irene yang menangis keras dan mulai hilang kendali itu untuk berdiri dari kursi tunggu dan membawanya ke satu kamar kosong. Beruntung lorong ini tidak ada orang. Irene terus menggumamkan kata-kata tapi Gabi tidak mengerti. Matanya nanar melihat keadaan teman baiknya ini. Pelukan Irene kepadanya sangat kuat dan ia menangis seperti anak kecil. "Aku teman yang jahat.." Gabi melihat botol obat digenggamannya dan mendesah. Ia seharusnya tau. "Maafkan aku, Irene."

Setelah mendapat kamar untuk Irene, Gabi keluar dan kembali dengan membawa air putih lalu membantunya untuk minum.

"Hei, bernafaslah, lihat aku Irene, tarik nafas dalam." perintahnya dan Irene menurut. Ia bisa tenang untuk beberapa saat.

"Aku memaafkannya, Gabi." Irene berusaha bicara diantara sedu sedannya. Mengingat kembali pembicaraannya dengan mendiang Wendy. Ini masih sangat sulit. Gabi hanya mengangguk prihatin dan mendengarkan sambil merapikan rambut Irene. Ia terlihat kacau. "Dan lalu dia pergi begitu saja dengan mudahnya!" desisnya kesal seakan tidak pernah rela, tidak pernah cukup. "Aku ingin sekali dia mati, tapi sekarang kenapa— kenapa aku merasa bersalah?" Irene meremas dadanya yang sesak dan sakit.

.

.

Bersambung

Goodbye Hello [ semi hiatus ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang