Hello Again - p18 (2)

65 22 5
                                    

-

"Irene..." bisiknya.

"Ooh Irene?" Lara akhirnya bisa tersenyum. "Dia baik-baik saja bersama Papa Sean. Ini sudah jam sembilan. Papa Sean pasti sudah menjemputnya pulang dari sekolah. Aku menelponnya tadi, katanya mereka masih dijalan. Sebentar lagi mereka sampai. Kau pasti merindukannya 'kan Kakak—" ia berhenti bicara panjang lebar saat tangan Wendy bergerak dan jari telunjuknya terangkat. Lara berbalik badan dan kaget saat melihat sosok yang sejak tadi ada memperhatikan mereka.

Akhirnya ia disini. Irene menelan ludah dengan susah payah, tatapan adik kakak itu kini tertuju kepadanya. Ia sangat benci bau ruangan rumah sakit dan menemui Wendy untuk pertama kalinya, wanita terakhir yang ingin ia temui didunia ini, tidak membuatnya merasa lebih baik. Ia masih tidak siap tapi ia tidak bisa mundur. Apa yang akan ia lakukan pada wanita yang terbaring tidak berdaya di depannya ini? Marah dan berteriak di depan mukanya? Melepas masker oksigennya atau menarik rambutnya yang tipis karena kemoterapi atau mungkin menamparnya sampai puas? Demi Tuhan, dulu semua itulah yang sangat ingin ia lakukan. Apa ini benar-benar adil untuknya?

"Nona Irene.." Lara mengerjap, masih terkejut.

"Kita bertemu lagi, Lara." datar Irene seperti tidak berniat. Lara mengangguk. Walau sikapnya sedingin itu, ia sangat senang dan bersyukur karena Irene mau datang. Dan itu berarti Irene sudah membaca surat dari kakaknya. Apapun isi surat itu, Lara ingin yang terbaik untuk semuanya.

Lara menatap bergantian antara Irene dan Wendy. Ia bahagia dan juga sedih bersamaan. Bahagia karena ia bisa memenuhi permintaan kakaknya dan sedih membayangkan apa yang akan mungkin saja terjadi setelah ini selesai. Perasaannya tidak enak.

"Kakak, kau tidak apa-apa?" tanyanya. Wendy mengangguk kecil sementara matanya tidak berhenti menatap wanita didepannya. Wanita yang selama ini ingin sekali ia temui. Wanita yang sudah ia sakiti. "Baiklah." ia mengerti. Lara kemudian membereskan alat mandi Wendy, merapikan piyama tidurnya dan dengan cekatan membantunya untuk berbaring dengan posisi yang nyaman. Sementara itu Irene yang masih tidak bergerak diambang pintu terus memperhatikan Lara dan Wendy yang mengingatkannya akan dirinya dan juga Joy. "Kakak, kalian akan bicara dan aku akan menunggu diluar, hmm." Lara membisikkan sesuatu pada Wendy sebelum meninggalkannya dan menghampiri Irene.

"Nona Irene, aku tau ini sulit tapi terima kasih sudah menyempatkan waktumu untuk datang menjenguk kakakku. Dia sangat senang kau disini, aku bisa melihatnya." ucap Lara tersenyum sambil menoleh sekali lagi pada kakaknya. "Terima kasih karena sudah membuat pilihan ini." matanya nanar.

"Aku tidak melakukan ini untuk siapa-siapa." dinginnya. Lara mengangguk mengerti, tidak ingin menambah suasana menjadi lebih dingin lagi.

Setelah Lara benar-benar menutup pintu dibelakangnya, Irene berusaha keras untuk melangkahkan kakinya yang tiba-tiba terasa lemas. Kepercayaan diri yang terbentuk dari amarahnya seakan tidak pernah ada. Tapi ia tidak bisa menyesali ini karena bertemu Wendy adalah pilihan pertamanya.

"Irene.."

"Iya ini aku, Irene Quinn." ia tersenyum sinis. Irene kemudian melihat-lihat keadaan kamar yang membuatnya seketika pusing dan juga mual. Terlalu banyak alat kedokteran didalam sini. Apa yang harus ia mulai untuk bicara tentang mereka? "Aku pikir surat itu hanya leluconmu saja tapi ternyata tidak. Lihat semua ini? Aku tidak pernah mengira kita akan bertemu seperti ini, Wendy Grey. Apa kau terkejut?"

"..."

"Kau tau, aku selalu berharap kita bisa bertemu dalam keadaan yang lebih baik dari ini. Sungguh. Aku selalu membayangkan dimana aku bisa memarahimu sepuasnya, mempermalukanmu di depan umum dengan menampar wajahmu dan kau akan berani menatap mataku seberani kau mengirimkan foto-foto itu padaku dulu. Seberani kau merebut dia dariku. Merebut kebahagiaanku." Irene menatapnya benci. Mengeluarkan amarahnya yang lama terpendam.

"..."

"Aku akui kau adalah wanita yang hebat atau Sean yang terlalu bodoh, atau sebaliknya, dan mungkin benar keduanya. Atau aku yang terlalu baik, naif dan bodoh? Bagaimana menurutmu?"

"..."

"Kenapa kau tidak bicara? Kau bisu sekarang?" Irene mulai kesal dengan situasi diantara mereka. Terlalu mencekik. "Aku sudah berbaik hati untuk menemuimu disini dan yang kau lakukan hanya—"

Tangan Wendy bergerak. Walau sakit ia mencoba untuk mengangkatnya perlahan sekali lagi. Irene melihat Wendy yang seperti kesulitan untuk bernafas sedangkan matanya nanar. Ia menelan ludah, nafasnya tercekat. Apa ia berkata terlalu kasar?

"Irene.." gumamnya lemah. Tangan kanan yang bergetar itu terjulur kepada Irene, menunggunya. Ia menelan ludah, menggigit bibirnya yang kering, mencoba untuk mengeluarkan suaranya dengan susah payah. Ia ingin Irene bisa mendengarnya secara langsung dan jelas. Ia sudah berlatih untuk mengatakan ini bertahun-tahun dan sekarang Irene disini. Ini adalah kesempatan terakhirnya. "..maafkan aku."

.

.

Bersambung 

Goodbye Hello [ semi hiatus ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang