Hello Again - p18 (3)

114 20 12
                                    

-

Ini adalah kesempatan terakhirnya. "..maafkan aku."

Waktu seakan berhenti. Mereka berdua menangis. Berbagai macam perasaan berat di dada tertuang dalam suara isak tangisan yang menyelimuti setiap sudut kamar.

"Maaf.."

"..."

"Irene?.."

"..."

"Aku mohon.."

"..."

"Maafkan aku."

Wendy tidak mengucapkan kata selain maaf. Semua yang ingin ia katakan sudah tumpah didalam surat yang ia tulis khusus hanya untuk Irene. Karma memang menyakitkan tapi ia bisa menerimanya. Harus menerimanya. Kata-kata kasar Irene tidak sebanding dengan apa yang sudah dilakukannya. Satu yang ia inginkan hanyalah maaf. Bahkan kalau dirinya diberi kesempatan oleh Tuhan untuk membuat permohonan yang bisa dikabulkan dalam sekejap, ia lebih memilih mendapatkan maaf dari Irene daripada kesembuhan. Melihat Irene menangis pilu di depannya sekarang, ia tidak bisa membayangkan keadaannya setelah melihat foto-foto yang tanpa malu ia kirimkan itu. Ia tidak berani menatap Irene berlama-lama. Wendy benar-benar menyesal.

Irene memejamkan matanya dengan rapat. Mencoba dengan keras untuk tenang menghadapi situasi ini. Apa maaf yang akan ia berikan nanti sepadan dengan semua rasa sakit yang sudah ia rasakan saat berpisah dengan Sean, pria yang sangat dicintainya? Bahkan tahun-tahun yang ia lalui sendirian setelahnya itu. Mimpi buruk hampir di setiap malam, rasa panik, dunia yang terasa sepi dan kosong. Tuhan tau sudah berapa kali Irene ingin mengakhiri hidupnya karena semua itu. Pernikahan ini bukanlah yang pertama untuknya tapi rasa sakitnya lebih dari pukulan-pukulan yang pernah mendarat di tubuhnya dulu. Saat mantan suami pertamanya ringan tangan sementara mertuanya tidak peduli bahkan saat ia menderita gegar otak ringan karenanya, mereka bilang itu hal biasa yang terjadi dalam setiap rumah tangga. Dua hal itu seakan bersatu untuk menghantuinya hingga kini, menjadi trauma yang tidak berkesudahan. Jadi, apa semua itu sepadan?

Kenyataannya ini sangatlah sulit untuk dilakukan. Irene membuka matanya, mengalirkan air mata yang hangat dengan bebas di kedua belah pipinya, lagi dan lagi. Ia meremas dadanya yang sesak, matanya menatap dalam Wendy, seakan ingin memperlihatkan kesakitan-hatinya sampai detik ini yang tidak bisa lagi terucapkan. Karena pria yang sama-sama mereka cintai. Pria yang mengubah cara pikir mereka tentang cinta dan juga hidup. Tapi Irene perlahan mendekat, berdiri disamping Wendy dan perlahan menyambut tangan dingin yang sudah lama menunggunya itu, untuk pertama kalinya. Rasanya tidak terungkapkan. Ia menggenggamnya erat dan bergetar. Mata merah dan nanar mereka bertemu, Irene mengangguk.

"Aku—" ia tersedak tangis. Tubuh Irene gemetar. "Aku memaafkanmu."

Wendy menangis sekali lagi tapi merasakan tubuhnya menjadi ringan sekarang, seakan beban berat yang selama ini menimpanya sudah terangkat. Ia mengangguk dengan memejamkan kelopak matanya sejenak, tangannya berusaha keras untuk membalas genggaman Irene yang sudah mau berbesar hati memaafkannya. Ia sangat berterima kasih kepadanya. Wendy harap Irene tau itu.

"Tidak.." Irene mengerjap panik saat melihat mata Wendy yang terus menatapnya perlahan tertutup sedangkan genggaman tangannya melemah tidak terasa. Apa yang terjadi? Apa yang harus ia lakukan? Apa Wendy tidur? Tidak lama kemudian bunyi datar dan panjang terdengar membuat Irene menoleh cepat kearah alat pendeteksi jantung yang berada tepat di depannya. "Tidak.." dan bersamaan dengan itu, garis datar di layarnya terlihat.

Lara yang tidak meninggalkan pintu kamar rawat bergegas masuk saat mendengar bunyi yang tidak asing itu, ia panik dan langsung menekan tombol merah kecil dibawah ranjang, memanggil dokter dan susternya.

Lara menangis keras, tidak lama dokter datang dan sigap melakukan tugasnya tapi Irene tidak bisa mendengar apapun. Kekalutan orang-orang disini bahkan bunyi detik jarum jam. Telinganya berdengung kuat sampai membuatnya pusing. Ia tidak bergeming saat seorang suster menjauhkan dirinya dari ranjang, melepaskan genggaman tangan dingin Wendy. Irene tidak berkedip saat matanya menatap wajah pucat Wendy sementara dokter terus mencoba melakukan apa saja untuk membuatnya kembali kedunia. Tapi Wendy tidak bergerak, tidak bernafas. Apa ini nyata? Ini terlalu cepat. Ini pasti hanya mimpi, benar 'kan? Semua terasa seakan dalam gerak lambat. Tapi anehnya, ia bisa mendengar jelas suara pria yang memanggil-manggil namanya sekarang.

"Irene?" panggil Sean. "Apa yang kau lakukan disini?"

.

.

Bersambung 

Goodbye Hello [ semi hiatus ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang