Hello Again - p9

112 17 7
                                    

-

Sean dan Lara berpencar keluar dari kamar rawat dengan perasaan khawatir. Anak kecil yang mereka cari-cari ternyata tidak ada di ruang tunggu bermain anak-anak, bahkan beberapa suster yang sudah mengenal mereka cukup baik berkata tidak melihatnya sejak tadi. Petugas keamanan yang berjaga pun mulai turun tangan membantu mereka mencarinya. Keduanya semakin cemas di setiap menit yang berlalu karena hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Apa yang terjadi? Apa seseorang membawanya pergi? Apa dia diculik? Dirumah sakit yang besar ini, akan kemana dia?

"Oh Tuhan, syukurlah, di sana dia rupanya." Sean menghela nafas lega sambil mengusap dadanya. Jantungnya yang terasa hampir copot karena kehilangan putri satu-satunya. Sekarang ia memperhatikan dengan penasaran dari kejauhan putrinya yang tengah bersama seorang wanita tidak dikenal. Tanpa membuang waktu, Sean berlari kecil menghampiri keduanya yang sedang berpelukan manja dibawah pohon. Walaupun wanita itu tampak tidak berbahaya tetap saja ia mengkhawatirkan putrinya. "Irene!" panggilnya.

"Iya."

"Iya."

Keduanya menyahut dan menoleh bersamaan kearah suara yang memanggil.

Sean tidak bisa merasakan kakinya lagi. Kakinya yang tadi ringan berlari sekarang terasa kaku menginjak tanah. Ia berhenti di sana, matanya tidak bisa berkedip menatap wanita cantik yang hanya berjarak sekitar tiga meter darinya. Ia sedang tidak bermimpi lagi 'kan? Nafas Sean tercekat, membisu.

Dunia seakan berhenti berputar saat mata mereka bertemu untuk pertama kalinya setelah bertahun lamanya. Waktu seakan melambat di antara mereka. Mereka tidak bisa mendengar apapun kecuali degup jantung mereka yang cepat tidak terkendali dengan perasaan masing-masing. Seakan tidak ada lagi apapun yang berarti di dunia ini kecuali kehadiran mereka berdua. Senyuman di wajah Irene menghilang perlahan bersamaan bangkitnya ia dari tanah, melepaskan tubuh gadis kecil itu dari pelukan hangatnya. Matanya tidak lepas menatap pria tinggi di depannya. Pria yang sebisa mungkin ingin ia hindari jika bertemu dan seketika Irene tidak bisa berpikir. Apa ia sedang bermimpi? Nafasnya sama tercekat, kelu.

Sean dan Irene tidak menyangka dengan takdir mereka. Mereka terlihat sama-sama tidak siap dengan pertemuan hari ini. Situasi dan kondisi yang lebih dari sekedar canggung. Apa yang harus Sean dan Irene lakukan? Saling menyapa dengan senyum ramah dan bertanya kabar? Tidaklah mudah untuk mereka yang pernah bersama memiliki kenangan manis dan juga buruk dimasa lalu. Seperti memisahkan minyak dari air.

"Irene?.." gumaman nama itu hampir tidak terdengar. Sean tersenyum kecil, masih tidak percaya. Matanya seakan tidak bosan menatap sosok wanita yang pernah mengisi hidupnya ini. Wanita yang diam-diam akan selalu ada dihatinya. Irene terlihat lebih segar dan muda dengan potongan poni tipis yang menutupi dahinya kini. Keadaannya jauh lebih baik dari terakhir kali Sean melihatnya. Tentu.

"Papa!"

Irene tersadar dari lamunan panjangnya setelah mendengar suara ceria itu. Papa. Panggilan itu seketika menggema di telinganya dan semakin lama membuat dadanya sesak tidak karuan seperti dihimpit dua batu besar depan belakang. Matanya yang tidak disadarinya sudah nanar itu menatap tiap gerakan dan langkah ringan gadis kecil yang kini berlari cepat ke arah Sean. Ayahnya. Gadis kecil yang sudah ia tenangkan dan membuatnya jatuh cinta itu ternyata adalah anak dari mantan suaminya. Irene tidak dapat mengontrol lagi pikirannya yang kembali mengingat masa lalu yang menyakitkan itu. Berputar cepat seperti kaset kusut di dalam otaknya. Ia panik. Terkhianati sekali lagi.

"Papa?" panggilnya dengan wajah murung. Sean mengerjap tersadar dari lamunan panjangnya dan terkejut melihat putrinya dibawah, memeluk kakinya erat dengan lengan kecil itu sedangkan bibirnya bergetar diujung tangis. Sean tersenyum kecil, akan selalu luluh melihat binar di mata putrinya tercinta. "Maaf, Papa.." sesalnya.

"Baby, kau membuat Papa benar-benar khawatir. Kau tau itu?" Sean membungkuk untuk menggendongnya di dada. Merasakan lengan kecil itu melingkar di lehernya dengan erat. "Kau seharusnya tetap dikamar, jangan pergi sendirian keluar. Ini sangat berbahaya, apa kau mengerti, Irene?" ucap Sean tegas. Suaranya berubah sedikit serius sambil mengusap sayang punggung putrinya, Irene-nya.

"Hummn.." Irene tidak berhenti merengut menatap Sean, tau kesalahannya. Ia menyandar lelah di bahu ayahnya. "Maaf Pa, Irein anak yan nakal." akunya. Sean mendesah pelan. Ia tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri kalau sesuatu yang buruk terjadi kepada Irene.

Irene kecil seharusnya tidak dibiasakan berada dirumah sakit. Tidak baik untuk kesehatan tubuh atau pun mentalnya. Sean peduli akan hal itu tapi ia juga tidak mau jika Irene tumbuh besar tanpa mengenal sosok ibunya yang sedang dirawat. Setiap akhir pekan adalah jadwal Irene untuk menjenguk ibunya. Hari ini adalah hari yang buruk, wajah bahagia Irene yang tidak pernah hilang sejak mereka turun dari rumah dan sampai ke rumah sakit berubah menjadi horor saat ia yang sedang bercerita di samping sang ibu tentang sekolahnya itu tiba-tiba digendong menjauh dengan paksa. Suara ribut orang-orang dewasa seakan mengacaukan pendengarannya. Lara yang menangis, Sean yang panik, Dokter John yang kalut memeriksa ibunya yang sedang tidur membuat Irene bingung dan takut tapi tidak menangis seakan memendam perasaan itu sendiri. Ia terlalu terkejut dengan apa yang terjadi di depan matanya. Irene melihat apa yang seharusnya tidak ia lihat.

"Maafkan Papa, baby." Sean menyesal. Mungkin karena semua itulah Irene lari dari ruang rawat. Ini juga kesalahannya. "Coba lihat, kenapa kau menangis, huh? Apa kau terluka?" ia mengusap wajah sembab Irene dengan penuh perhatian.

"Tidak, Papa." Irene menggeleng lucu. Tapi ia tidak ingin bicara dengan ayahnya tentang Suster Agnes itu. "Maafkan Irein?"

"Tidak apa-apa, sayang." Sean tidak semarah itu lagi tapi ia kembali ke mode serius. "Tapi kau harus berjanji pada Papa, jangan lakukan itu lagi, okey?"

"Okey, Irein janji." ia mengangguk cepat. Tidak ingin membuat ayahnya sedih, marah dan khawatir lagi. Sean tersenyum senang melihat putrinya yang bertambah pintar. Ia mencium kedua pipi kenyal itu dengan gemas sebelum mengalihkan pandangannya ke depan dan terkejut saat mendapati Irene sudah tidak ada lagi di tempatnya tadi berdiri.

"Oh, Bibi?" Irene bingung. "Kemana Bibi?" matanya sibuk melihat ke depan, kiri kanan dan juga kebelakang untuk menemukan sang bibi tapi tidak ada. Ia belum sempat memperkenalkan bibi baik hati kepada ayahnya.

Dan bukan hanya Irene kecil yang bingung dan merasa kehilangan. Dahi Sean merengut dalam terlepas dari pertanyaan bagaimana putrinya bisa mengenal Irene disini. Matanya sama sibuk mencari-cari. Tiba-tiba rasa sedih, sepi dan kecewa itu kembali menyelimuti dadanya. Irene meninggalkannya sekali lagi.

.

.

Bersambung

Goodbye Hello [ semi hiatus ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang