Hello Again - p11

83 16 7
                                    

🍁

Hari ini Irene dan Gabi akhirnya bisa bertemu setelah membuat ulang janji mereka. Seperti tidak terjadi apa-apa kemarin, semangat mereka saat melepas rindu dengan bertatap muka secara langsung untuk pertama kalinya masih terasa sama. Mereka berpelukan erat cukup lama dengan mata yang nanar bahagia, terlebih untuk Gabi. Sebenarnya ia masih tidak percaya karena Irene yang cukup sulit untuk dihubungi itu akhirnya mau kembali ke kampung halaman demi dirinya. Betapa banyaknya hal tidak terucapkan yang harus mereka bagi bersama. Suka dan duka itu. Sayangnya Irene tidak mau menginap dengannya di apartemen yang tinggal bersama Simon Choi, calon suaminya. Tentu Irene tidak ingin merepotkan apalagi menjadi orang ketiga diantara kesibukan dan kemesraan keduanya. Pasti akan canggung seperti nyamuk.

Gabi dan Simon yang cuti bekerja untuk hari ini sampai lusa kemudian mengajak Irene berjalan-jalan untuk melihat tempat dimana pertunangan mereka akan dilaksanakan. Semuanya sudah siap seratus persen. Sempurna. Setelah setengah jam berkeliling, mereka bertiga memesan makan siang bersama di dalam restoran. Berbagai menu makanan yang dipesan sudah tersaji hangat dan nikmat tapi Irene tidak berselera. Ia yang tidak makan sejak kemarin itu pun tidak merasa lapar sama sekali.

Kemarin, Irene menangis sampai tertidur, bangun ditengah malam hanya untuk menangis lagi dan kembali tertidur. Mata sembabnya pasti terlihat jelas sekarang. Irene akan terlihat seperti hantu yang sedang koma kalau saja tidak karena riasan wajahnya. Beruntungnya lagi, ia mempunyai adik yang selalu siap dihubungi setiap saat, bercerita tentang apa saja untuk mengurangi tangis dan melupakan kesepiannya. Malam yang panjang dan melelahkan. Irene bahkan kesulitan menyiapkan diri di pagi harinya untuk bertemu Gabi. Sangat tidak adil untuk Gabi kalau ia kembali membatalkan janji mereka. Sahabatnya itu sudah lama menunggu mereka untuk bisa bersua.

Hanya tinggal Irene dan Gabi dimeja makan sekarang karena Simon yang sudah selesai dengan urusan perutnya itu langsung pergi bersama teman-temannya ke tempat lain.

"Jadi, bagaimana menurutmu pemandangan disini? Indah, bukan? Apa menurutmu tamu undangan yang lain akan menyukai dan nyaman dengan taman ini? Tolong hibur aku dengan jawaban yang menyenangkan, Irene?" tanya Gabi tertawa kecil. Ia yang tidak henti bersemangat dan juga gugup untuk hari esok. Tapi kemudian dahinya mengernyit saat tidak mendapat jawaban apapun. Ia melihat Irene yang melamun tidak bergerak menatap makanannya yang tidak tersentuh. Gabi sampai harus berpura-pura batuk untuk menyadarkan sahabatnya itu.

"Oh maafkan aku- apa kau mengatakan sesuatu?" Irene tersadar membuat Gabi mendesah, wajahnya melembut. Ia tau ada yang tidak beres dari Irene sejak kemarin bahkan sampai detik ini. Auranya berbeda, seperti tidak mempunyai jiwa. Ia hanya tidak ingin memaksa Irene untuk bercerita langsung kepadanya. Gabi tau Irene tidak suka dipaksa. Mereka seharusnya berbahagia hari ini.

"Ingin menceritakannya kepadaku? Tapi kau tau, aku tidak akan memaksamu."

Irene berhenti memainkan nasi putih di piringnya setelah ketahuan dengan jelas. Senyumnya samar, ia benar-benar tidak bisa menyembunyikan suasana hatinya yang sedang buruk. Melepaskan sendok makannya perlahan, ia menyandar di kursi, kepalanya pusing karena tidak cukup tidur dan banyak pikiran. Ia menghela nafas sambil menatap keluar jendela kaca. Hiasan-hiasan taman di luar tampak sangat sempurna untuk pesta bersama keluarga dan para sahabat besok. Irene teringat akan acara pernikahannya dahulu. Ia bergidik, mulai merasa tidak nyaman. Obat penenang yang ia beli di apotek tadi seakan tidak bereaksi apapun.

"Irene—"

"Aku- aku bertemu dengannya di sana." Irene menunduk dan bermain dengan ujung kemejanya.

"Bertemu siapa? Dimana?"

"Sean." gumam Irene pelan tapi bisa terdengar jelas oleh sahabat yang duduk di depannya. Gabi hampir menyemburkan air putih yang baru saja masuk ke mulutnya. Ia menatap Irene dengan mata yang tidak percaya sementara Irene balik menatapnya dengan anggukan kecil dan senyum getir hampir tidak terlihat. "Dia di sana, dirumah sakit, dengan keluarga barunya, dengan putrinya." sampai sekarang Irene juga masih tidak percaya siapa yang ditemuinya kemarin. Ia mendesah untuk kesekian kalinya. Terlalu lelah untuk menertawakan dirinya.

Sekarang Gabi sudah tau semuanya setelah Irene bercerita tentang apa yang terjadi kemarin. Selain Joy, Gabi adalah orang yang Irene percaya untuk apapun masalahnya. Walau terkadang ia masih merahasiakan sesuatu, Gabi selalu menjadi pendengarnya yang baik dan setia selama ini. Negara yang berbeda tidak melunturkan persahabatan mereka.

"Kau tau Irene, semua berubah saat kau pergi." Gabi kembali bersuara setelah merasa mereka terlalu lama terdiam. Ia sangat bersimpati kepada sahabatnya ini, Irene yang tidak pantas mendapatkan kesedihan apapun. "Ya, aku rasa memang benar begitu, terutama, untuk keluarga besar Sean." ia kemudian menyuap kentang goreng dengan santai sambil memperhatikan reaksi Irene. Irene yang terlihat tegang tidak nyaman setiap kali Gabi menyebutkan nama mantan suaminya.

"Tuan Adriel meninggal karena serangan jantung dua tahun yang lalu." lanjut Gabi yang awalnya ragu. Tatapannya kemudian berubah menjadi iba saat Irene yang sekarang menatapnya, tersentak karena berita itu. Ternyata dugaannya selama ini memang benar. Irene tidak tau.

Irene berharap telinganya salah dengar dan Gabi hanya bercanda kepadanya tapi Gabi mengangguk serius membenarkan hal itu. Mata Irene merah dan nanar seketika, ia tidak bisa menelan ludahnya sendiri seakan ada batu besar yang mengganjal tenggorokannya. Tangannya yang terkepal memutih dibawah meja kini bergetar. Ayah yang menyayanginya seperti anak kandung sendiri selama ini. Ayah yang diam-diam ia doakan kesehatannya setiap malam ternyata sudah tiada sejak lama. Oh Tuhan, Irene tidak tau apapun. Kematian itu adalah berita terburuk.

"Dan Nyonya Hana, dia sakit-sakitan dan beberapa kali dirawat dirumah sakit tempat aku dan Simon bekerja sebelum dipindahkan ke kota ini sebulan yang lalu." ucap Gabi. Suasana bisa berubah suram secepat ini. "Maaf Irene, karena aku tidak menceritakan ini padamu saat ada kesempatan. Aku hanya tidak mau kau akan berpikir kalau aku sudah melewati batas karena kau tidak bertanya padaku. Aku tau kau tidak ingin berbicara lagi tentang mereka." tambah Gabi. Irene menyeka cepat air matanya yang jatuh. Ia mengerjap dan mencoba untuk tetap tenang. Teringat masa itu. Kalau sudah begini ia sangat membutuhkan obatnya lagi. Seharusnya tadi ia tidak hanya meminum dua butir.

.

.

Bersambung

Goodbye Hello [ semi hiatus ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang