- -
"Demi Tuhan Sean, kau—"
"Irene..."
Kau tidak menghiraukan ayahmu yang terlihat masih ingin bicara. Sekarang kau tau alasannya. Beliau ingin marah sepuasnya padamu atau membunuhmu sekalipun, kau akan menerimanya. Beliau masih bisa menunggu tapi tidak dengan istrimu. Dia yang terluka karenamu. Kau membuang foto itu sembarang dan lalu bergegas menyusulnya, berlari menaiki anak tangga. Yang kau pedulikan sekarang hanyalah dia, Irene, istri tercintamu. Istri yang dengan tega kau sakiti. Oh Tuhan, apa yang sudah kau lakukan?
"Sayang—" Kau membuka pintu kamar dengan panik dan terkejut saat bantal tidur melayang tepat ke arahmu. Di sana kau melihatnya sudah menangis tersedu. Suaranya memilukan hati. Matanya merah darah. Air mata mengalir deras membasahi wajah cantiknya. Dia terlihat kacau, begitu rapuh dan kau tidak suka melihatnya. Pemandangan itu membuat hatimu berat dan sesak. "Baby dengarkan aku—"
"Jangan panggil aku baby!" teriaknya, mengagetkanmu. Dia mengeluarkan semua amarah di dadanya yang beberapa jam lalu tertahan saat menunggu kepulanganmu. Tujuh tahun terakhir dia sangat senang mendengar panggilan sayang itu darimu, membuat hatinya berdebar. Tapi kali ini sangat berbeda. Hatinya hancur. Dia benci, dia bahkan jijik. Dia merasa bodoh karena faktanya dia bukanlah satu-satunya baby didalam hidupmu. "Aku bukan baby-mu lagi!"
"Tidak Irene, aku mohon dengarkan aku..." suaramu bergetar. Untuk pertama kalinya kau sangat takut menghadapi kenyataan. Dia kelemahanmu sekarang. Kau mencoba untuk mendekatinya.
"Jangan dekati aku!" perintahnya mengingatkan. "Jangan berani kau mendekat!" dan kau mengangguk menurut. Kau mengambil nafas bergetar, salah satu dari kalian harus ada yang berkepala dingin walaupun sangat susah.
"Kau harus mendengarkan penjelasanku, okay? Aku mohon?"
"Tidak! Aku tidak ingin mendengar apapun darimu! Kau pembohong!" tunjuknya marah. Kau tidak pernah melihatnya semarah ini tapi dia benar. Kau pembohong. "Tidak ada lagi yang harus kau jelaskan! Keluar!" usirnya tapi kau menggeleng, bergeming. Dia harus tau dan harus mendengarkan penjelasanmu.
"Dengarkan aku... Demi Tuhan aku ingin mengatakan semua ini padamu tapi tidak ada waktu yang tepat. Aku mencoba dan mencari waktu yang tepat Irene tapi percuma, percaya padaku. Dan aku takut. Takut kalau kau akan seperti ini." Kau memulai dengan berusaha jujur. Matamu menatapnya nanar. Dia terdiam sejenak. Kau tidak tau apa yang sedang dipikirkannya. Bagaimana kau bisa menjelaskan aib pahit ini kalau dia selalu perhatian dan tersenyum bahagia di dekatmu, memberikan warna-warni di harimu. Kau tidak ingin dan tidak tega mengganti senyuman itu dengan tangisan, tidak ingin menyakitinya. Tapi kenyataannya kau sudah menyakitinya lebih dari apapun.
"Ini juga menyakitiku, Irene, aku sangat menyesal baby, maaf—"
"Hentikan!" Dia memalingkan muka, matanya terpejam rapat dan menutup kedua telinga dengan telapak tangannya. Mendengar kata maafmu berarti kau mengakui kesalahan fatal yang sudah kau perbuat. Kau memang mengakuinya. Dia menangis keras, terluka. Dia bingung, dia kaget, dia gelisah dan takut. Kau tau itu karena kau juga merasakan hal yang sama, dalam situasi berbeda.
"Aku dan dia sudah berakhir, percayalah..." katamu meyakinkan. "Tapi kali ini aku rasa aku sudah terlambat, benar 'kan?" Kau mendesah, menyesalkan apa yang telah terjadi diantara kalian.
"Aku bilang hentikan dan keluar! Aku tidak ingin melihat wajahmu!" katanya. Dan kata itu bagaikan batu besar yang meremukkan jantungmu. Tidak di inginkan oleh seseorang yang kau kasihi, lebih baik mati.
Tangannya lalu mengambil benda-benda yang ada dikamar kalian dan tidak segan-segan melemparkannya kepadamu. Amarah menguasainya. Dan kau menerimanya. Kau pantas mendapatkannya.
"Irene..."
"Keluar! Aku bilang keluar! Pergi!"
Tapi kau terus mencoba melangkah mendekatinya sambil menghindari benda-benda yang melayang bebas ke tubuhmu. Buku-buku novel yang tebal, guling, foto-foto kalian yang terbingkai indah, alat riasnya. Suara benda jatuh dan pecah menghantam dinding dan lantai, suara teriakannya yang memilukan hati dan suara permohonanmu menjadi satu kesatuan yang penuh derita malam ini.
"Ack!" Kau meringis. Bahkan saat jam weker mengenai pelipismu rasanya tidak sesakit melihatnya histeris seperti ini. "Baby, hentikan..." Kau mengusap setetes darah di pelipismu. Dia terus melempar apa saja yang bisa digapainya. "Hentikan." mohonmu dan dia berhenti saat ingin mengambil lampu duduk dimeja nakas. Dia menatapmu sejenak. Tatapan berairnya melembut. Dia khawatir dan masih peduli, kau bisa merasakannya. Haruskah kau senang?
Sunyi namun ketegangan belum hilang untuk beberapa saat. Hanya deru nafas beratmu dan isakan diamnya yang terdengar ditelinga masing-masing. Kau tidak suka suasana diantara kalian seperti ini. Kau ingin menghampirinya segera, memeluknya erat. Mengatakan sejuta maaf walaupun kata tersebut tidak berguna lagi.
"Kenapa kau lakukan ini padaku, Sean?!" lirihnya dan terduduk dilantai. Dia tertunduk dalam sambil meremas dadanya yang terasa sesak. Rasanya sangat menyakitkan dan dia tidak suka. Dia lelah dengan semuanya. Bayanganmu bersama wanita yang ada di foto-foto itu kembali menghantuinya. Kenangan indah bersamamu seketika terkubur dalam. Apakah semua kenangan itu bohong dan tidak ada artinya, untukmu? "Apa kau tidak mencintai aku lagi?" gumamnya namun bisa dengan jelas kau dengar.
"Tidak Irene! Jangan katakan itu." Kau menggeleng cepat. Itu sama sekali tidak benar. "Aku mencintaimu. Aku bersumpah! Aku sangat mencintaimu. Hanya kau—"
"Lalu apa lagi yang kau inginkan?!" Dia kembali menatapmu tajam. Sirat matanya penuh dengan kemarahan dan juga kekecewaan. Terluka dan terkhianati dan itu semua karena dirimu. Dia kemudian berdiri. Kau melihatnya dengan waspada, tidak yakin dengan apa yang akan dilakukannya. Tidak ingin dia melakukan sesuatu yang tidak kau inginkan.
"Sayang—"
"Katakan saja padaku apa yang kau inginkan, Sean?! Kau ingin ini?!" Dia menangis, membuka kardigan dan gaun rumahnya dengan cepat lalu membuangnya sembarang. Yang tersisa hanyalah pakaian dalamnya. Matanya tidak pernah lepas darimu saat melakukan itu. "Atau ini?!" Dia membuka celana dalam yang menutupi tubuhnya.
"Tidak tidak baby." Kau berlari kearahnya dengan cepat, mencoba memeluknya, menghalangi apapun yang akan dilakukannya. "Maafkan aku. Maafkan aku. Maafkan aku..." bisikmu berkali-kali di telinganya. Dan dia semakin menangis.
"Lepaskan aku!" Dia berontak ingin lepas tapi kau mempererat dekapanmu. "Lepaskan!" Kau membiarkan dia menampar, memukul dan menendangmu. Tapi kau tidak akan melepaskannya.
"Jangan lakukan ini, Irene, kumohon. Maafkan aku, kumohon..." Kau menangis dan mengusap rambut kepalanya. Apa yang dilakukannya membuatmu malu dan jijik pada dirimu sendiri. Laki-laki tanpa harga diri. Dia terus memukulmu sambil menangis pilu. Frustrasi.
"Apa aku tidak cukup, Sean?" lirihnya, memukul dadamu dengan kekuatan terakhirnya. Dia lelah. Tenggorokannya sakit karena tidak henti berteriak, urat sarafnya tegang, kepalanya berat dan pusing. Kakinya menyerah dan merosot dari pelukanmu. Kau memegangnya dan duduk bersama dilantai dengan dia di pangkuanmu. "Apa aku tidak cukup?" Kau menelan ludah susah payah dan pahit atas pertanyaan putus asa darinya itu.
"Kau lebih dari cukup untukku, sayang." Dia nafasmu, udara yang membuatmu hidup. Dia jantungmu, detakan yang membuatmu tenang. Dia rumahmu, tempatmu bernaung. Dia segalanya. Tanpa melepaskannya, kau menarik selimut di atas ranjang untuk menutupi tubuhnya. Tubuhnya yang berkeringat dingin.
"Lalu kenapa, Sean?" hatimu hancur saat mendengarnya memanggil sayang namamu dengan lafal khas yang kau sukai itu. "Kenapa?" Dia kembali tersedu di dadamu yang basah karena air matanya.
"Maafkan aku..." Kau menangis sambil memeluknya erat.
.
.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Goodbye Hello [ semi hiatus ]
Romance"Aku pikir dia bisa merawatmu lebih baik daripada aku." katanya kemudian. Beberapa hari yang lalu, Joy bercerita kepadanya tentang pertemuan singkat kalian. Katanya kau terlihat sangat kacau, seperti pengangguran yang putus asa mencari pekerjaan. Te...