🍁
Di dalam ruangan serba putih yang sudah terbiasa dilihat bertahun-tahun, kali ini Sean menunggu sendirian dan mencoba untuk duduk dengan tenang.
"Jadi, apa aku baik-baik saja, Dokter Choi?" tanya Sean. Ia sangat gugup dan penasaran dengan hasil kesehatannya yang keluar hari ini.
"Maaf karena aku harus mengatakan ini padamu tapi kau sedang tidak baik-baik saja, Tuan Sean." jawab Simon jujur setelah melihat semua hasil tes lab Sean yang dilakukan kemarin. Ia mendesah pelan.
"Apa maksudmu?" tanyanya.
"Dari hasil tes ini dan keterangan tentang apa yang kau rasakan. Kau menderita gagal ginjal kronis. Aku menyarankan, kau harus melakukan transplantasi ginjal, Tuan Sean. Secepatnya."
"Tunggu— Apa?"
"Begini, kau bilang padaku kalau kau sering merasakan sakit di bagian perutmu sudah lama, tapi kau hanya menganggapnya sakit biasa. Pola makan tidak teratur, kau juga punya insomnia dan kau mengkonsumsi obat tidur selama ini. Semua itu yang sekarang berdampak pada tubuhmu. Sakit yang kau rasakan beberapa hari ini, Tuan Sean." jelas Simon. Sean menghela nafas panjang dan bersandar dikursi. Kepalanya semakin berdenyut pusing.
"Transplantasi ginjal?"
"Iya, Tuan Sean. Jangan khawatir, aku akan mengatur semuanya untukmu. Dan kau harus dirawat hari ini untuk cuci darah pertamamu. Semuanya sudah siap."
"Tidak tidak, aku baik-baik saja, Dokter Choi. Aku yakin dengan tubuhku. Aku sehat." Sean menolak cepat. Simon mengerti dengan kegelisahan ataupun ketakutan itu. "Apa tidak ada cara lain? Dengan obat atau terapi, misalnya?"
"Sayangnya kita tidak bisa melakukan terapi untuk ginjal yang sudah rusak, Tuan Sean, dan dengan memberi obat lagi hanya akan menambah keparahannya. Aku takut, jika kita tidak segera menangani ini dengan transplantasi, komplikasi penyakit lainnya akan sangat mungkin terjadi. Aku mengkhawatirkan dirimu, Tuan Sean. Kau adalah pasienku sekarang."
Sean terdiam, pikirannya melambung jauh dan bercabang. Apa lagi sekarang? Apa yang harus ia lakukan? Kenapa ia tidak bisa tenang sehari saja? Ia benar-benar lelah. Sean merogoh ponsel di saku celananya dan mematikan alarm itu.
"Maaf, aku harus menjemput putriku sekarang." Sean bangkit dari kursinya seperti tidak pernah mendengarkan penjelasan dan saran dokter yang panjang lebar kepadanya. "Terima kasih, Dokter Choi."
"Kau punya putri, Tuan Sean?" tanya Simon menghampirinya. Sean menatapnya curiga tapi kemudian mengangguk pelan.
"Kalau kau menyayanginya dan kau ingin menjaga putrimu sampai dia nanti menikah, maka kau harus melakukan operasi ini."
-
"Maaf aku tidak bisa mengantarmu ke bandara, Irene." sesal Gabi. Ia berjalan beriringan dengan Irene di lorong rumah sakit. "Aku dan Simon sangat sibuk karena baru dipindahkan disini. Kami juga tidak bisa selalu mengajukan untuk libur sehari lagi dan lagi. Kau adalah tamuku tapi aku tidak melakukan apapun untuk menghiburmu. Menemanimu jalan-jalan atau berbelanja baju. Maafkan aku." ia merasa tidak enak hati.
Apalagi Irene masih perlu untuk dihibur karena beberapa masalah. Tapi sekarang Irene terlihat lebih baik dan cerah dari hari dimana ia mengalami mental breakdown itu. Sejujurnya Gabi tidak pernah menyangka jika Irene selama ini menderita serangan panik. Ia tau semuanya setelah menemani Irene dihotelnya. Sahabatnya yang tidak mau orang lain terlalu mengkhawatirkannya.
"Tidak apa-apa, Gabi. Jangan khawatir. Kita masih melakukan semua itu lain kali."
"Tentu saja! Kau harus berjanji untuk kembali lagi dan kalau saat itu tiba kau harus menginap di rumah baru kami." Gabi kembali bersemangat sambil menggandeng lengan Irene. "Dan lain kali kau harus datang bersama Joy. Aku sangat merindukan anak nakal itu."
"Tentu, Joy juga merindukan satu kakaknya yang cerewet."
"Hei!" mereka tertawa bersama.
"Terima kasih sekali lagi, Irene. Kau sudah mau meluangkan waktumu untuk datang ke acara kami walau kenyataannya ada hal tidak terduga yang—"
"Jangan bicarakan tentang itu lagi, Gabi." Irene memotongnya. Itu sudah selesai. "Dan jangan khawatir lagi, hmn." suaranya menenangkan.
Baru saja ingin meraih gagangnya, pintu didepan mereka dibuka dari dalam. Gabi kaget sementara senyum Irene hilang seketika melihat siapa yang membuka pintu. Sean Adriel.
"Oh, kalian disini." Simon ikut kaget dan tersenyum saat melihat tunangannya dan Irene datang berkunjung.
"Iya, kami baru saja sampai. Apa kau masih sibuk?" tanyanya. Sean melirik keduanya diam-diam. Sekarang ia tau hubungan Gabi dan juga Dokter Choi ini.
"Tidak juga, kami juga baru saja selesai."
"Bagus kalau begitu. Irene ingin pamit secara langsung kepadamu. Dia akan pulang hari ini." ucap Gabi cepat dengan satu maksud. Ia memperhatikan diam-diam Irene dan Sean yang kini saling menatap. Kalau saja ia bisa membaca pikiran orang lain.
"Aku permisi, Dokter Choi." pamit Sean. Ia tersadar saat Irene mengalihkan pandangan darinya. Itu menyakitkan. Irene terlihat tidak nyaman dengan keberadaannya. Ia tau karena ia bisa melihat ketegangan di tubuh mantan istrinya itu. "Terima kasih, sekali lagi."
"Kau harus memikirkannya dengan baik, Tuan Sean." Simon menjabat tangannya dengan sopan. "Aku serius." tambahnya. Sean mengangguk saja lalu pamit.
Simon tersenyum ramah dan Gabi mencoba tersenyum kepada Sean sementara itu Irene hanya diam, bersikap seakan mantan suaminya itu tidak ada. Jadi, ini akan menjadi hari terakhir Sean bisa melihatnya. Irene akan pulang. Dan entah kapan mereka bisa bertemu lagi. Atau mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Sean menatap lekat sisi wajah Irene sekali lagi lalu pergi. Langkahnya terasa berat dan jangan tanya bagaimana hatinya. Irene akan pulang. Kata-kata itu mengulang di otaknya. Sean tidak lagi memikirkan penyakitnya.
"Kenapa Sean bertemu denganmu? Apa yang terjadi?" tanya Gabi penasaran karena Simon terdengar serius tadi.
"Karena dia pasien baruku. Tunggu- apa kau mengenalnya? Kau akrab sekali saat menyebut namanya. Apa? Apa dia mantan pacarmu yang ke dua puluh itu?" Simon yang tidak tau apa-apa itu langsung cemburu.
"Apa?! Tentu tidak, Dokter Choi. Dan aku tidak punya mantan pacar sebanyak itu. Ceritanya panjang. Apa yang terjadi?" Simon masih menatapnya curiga yang membuat Gabi mendesah. "Nanti aku ceritakan, aku janji. Sekarang jawab pertanyaannya." ia melirik Irene yang seakan tidak peduli. Irene memang tidak lagi peduli 'kan?
"Baiklah, Suster Gabi." Simon mengalah. Irene yang sejak tadi diam sekarang entah kenapa merasa gugup. Ini bukan urusannya. "Tuan Sean didiagnosa gagal ginjal kronis dan harus dioperasi secepat mungkin tapi dia tidak mau. Aku menyuruhnya untuk dirawat hari ini karena kondisinya semakin buruk. Dia sangat keras kepala." Simon mendesah untuk kesekian kalinya. Gabi seketika terdiam, menyesal karena sudah berpikiran jahat tentang Sean yang menemui tunangannya.
Irene menatap Simon dengan kaget akan kabar itu. Ia terdiam tidak percaya. Ia menoleh diam-diam dan melihat punggung Sean yang perlahan menjauh. Sean sedang sakit. Pantas saja pria itu terlihat sangat berbeda dimatanya. Dahi Irene mengerut saat Sean tiba-tiba menghentikan langkah pendeknya ditengah jalan. Tidak tau kenapa tapi perasaan Irene menjadi tidak enak. Pikirannya terus mengingatkan, apapun yang terjadi pada Sean bukanlah urusannya lagi. Tapi jantungnya berdebar semakin takut, tangannya menggenggam kuat tas jinjingnya. Dan tanpa sadar seperti magnet, kakinya perlahan melangkah.
"Irene, kemana—" pasangan kekasih itu saling melirik bingung.
Irene tidak mendengar Gabi yang memanggilnya. Matanya fokus pada Sean didepan. Kaget, ia tidak pikir panjang untuk berlari menghampiri saat melihat tubuh Sean terhuyung ke dinding. Gabi dan Simon bergegas ke arah mereka setelah sadar apa yang terjadi.
Sean merasakan kepalanya semakin berat dan pusing berkunang-kunang. Ia menyentuh bagian perutnya yang kembali terasa sakit seperti ditusuk pisau berkali-kali dan ia sangat ingin muntah sekarang. Ia tidak bisa menahan kakinya yang sudah lemas untuk berpijak. Ia bersandar di dinding karena tidak kuat lagi. Sean terduduk dilantai dan pingsan. Hal terakhir yang didengarnya adalah suara khas seorang wanita yang memanggil namanya.
.
.
Bersambung

KAMU SEDANG MEMBACA
Goodbye Hello [ semi hiatus ]
Romance"Aku pikir dia bisa merawatmu lebih baik daripada aku." katanya kemudian. Beberapa hari yang lalu, Joy bercerita kepadanya tentang pertemuan singkat kalian. Katanya kau terlihat sangat kacau, seperti pengangguran yang putus asa mencari pekerjaan. Te...