Hello Again - p12

77 19 4
                                    

*

Pagi hari setelah pertengkaran malam itu, ia langsung menghubungi Joy diam-diam untuk menjemputnya di rumah. Rumah yang hanya dalam semalam bisa tidak terasa seperti rumah lagi. Irene merasa sesak dan tidak betah.

Wajahnya sembab, tidurnya tidak tenang, Irene terlihat kacau sama kacaunya dengan kamar pribadi mereka. Bingkai foto pernikahannya bersama Sean yang patah adalah satu bukti kemarahannya. Apa yang sudah menimpa rumah tangga mereka? Mereka bahagia bersama 'kan? Pertanyaan itu membuat mata Irene kembali nanar tidak ada habisnya. Ia melihat tempat tidur disampingnya yang masih rapi, membuktikan kalau Sean tidak bersamanya semalam. Kemana Sean? Mungkin sedang bersama wanitanya yang lain. Pembohong! Kata maaf dan tangisan Sean semalam. Itu semua bohong. Ia ingin berteriak, sama sekali tidak bisa membayangkan kalau selama ini suaminya yang menyentuh wanita lain diluar sana, pulang ke rumah mereka dan menyentuhnya seperti anak kecil yang tidak berdosa. Ia sangat bodoh. Matanya dibutakan oleh senyum manis Sean dan panggilan sayangnya. Apa arti kesetiaan? Irene yang tanpa busana sendirian didalam selimut, menyentuh perutnya yang rata kemudian menunduk untuk memeluk dirinya sendiri. Menerima kenyataan yang sepi dan dingin. Acara makan malam dan kejutan istimewa yang disiapkannya gagal begitu saja bahkan sebelum dimulai. Iya, hanya Sean yang berhasil dengan kejutannya.

Kepalanya masih pusing, tenggorokannya sakit terlebih lagi hatinya. Ia stres. Setelah dengan susah payah berkemas sebentar dalam kamar mandi, Irene terkejut tidak menyangka saat melihat ayah dan ibu mertuanya masih dirumah mereka, menunggunya di ruang makan untuk sarapan bersama kecuali Sean. Mertuanya itu bahkan tidak tau kemana perginya putra mereka setelah mengetahui apa yang dilakukannya. Mungkin Sean pergi menemui wanita itu lagi dan memilihnya. Memikirkan hal itu membuat Irene menangis dalam diam untuk kesekian kalinya di pelukan sang ibu mertua.

Tuan Adriel dan istri terlihat khawatir melihat kondisi psikis menantunya dan sangat menyesal karena kelakuan Sean. Irene tau itu, tapi ia tidak bisa menyalahkan keduanya. Tentu saja semua yang terjadi di rumah tangganya dan Sean bukan salah orang tua mereka jadi keduanya tidak perlu meminta maaf. Irene tidak menerima permintaan maaf itu. Mereka adalah orang tua yang baik.

Mereka bertiga masih sempat sarapan bersama walau dengan suasana teramat mendung tidak secerah biasanya. Tidak lama kemudian Joy yang tidak tau apa-apa datang menjemput Irene dengan ceria. Joy bahkan masih menanyakan dimana dan bagaimana kabar kakak ipar tercintanya itu. Joy yang disibukkan dengan sekolahnya di asrama mengatakan sangat rindu untuk bermain tenis bersama Sean. Adik ipar yang malang.

Tidak bermaksud untuk menyinggung perasaan siapapun, Irene dengan berat hati mengatakan ke mertuanya itu jika dirinya sekarang butuh tempat lain untuk menjernihkan pikirannya sementara ini. Tidak begitu terkejut mendengarnya, sang mertua tidak melarang karena mereka sangat mengerti. Keduanya malah meminta Irene untuk menggunakan waktunya sebaik mungkin untuk menenangkan diri dan Irene bisa menceritakan apapun yang dirasakan hatinya kepada mereka jika Irene tidak memiliki teman untuk bercerita. Irene sangat beruntung dapat memiliki orang tua seperti Tuan Adriel dan Nyonya Hana dan ia bersyukur untuk semua itu. Hari itu juga mertuanya pulang ke rumah pribadi mereka.

Irene memilih untuk tidak kembali ke rumah mereka di hari-hari berikutnya. Ia tidak bisa lagi kembali. Hal terakhir yang ia lakukan adalah menelpon ibu mertuanya, mengatakan kalau dirinya sangat merindukan kedua mertuanya itu. Yang terpenting dan juga yang tersulit adalah dirinya yang tidak bisa melanjutkan rumah tangga bersama Sean. Ia sangat meminta maaf karena tidak bisa menjadi menantu dan istri yang baik untuk keduanya dan juga Sean. Mereka berdua menangis ditelpon. Tentu ibu mertua yang menyayanginya itu meminta dirinya untuk memikirkan keputusan besar dan sulit itu sekali lagi atau sampai menunggu Sean datang dan mereka membicarakannya bersama dengan kepala dingin dan juga menggunakan hati. Tapi nyatanya Sean tidak pulang selama dua hari, tidak ada kabar apapun darinya. Tidak ada telpon, tidak ada pesan. Tidak ada apa-apa untuk Irene yang terpuruk sendirian. Keputusan itu tidaklah mudah tapi dengan tidak adanya kehadiran dan kejelasan dari Sean, berarti sudah tidak ada kesempatan untuk rumah tangga mereka lagi.

Hari-hari berlalu. Setelah menyiapkan diri dan mentalnya ditempat yang cukup tenang, Irene menghubungi pria yang masih menjadi suaminya itu. Walau mereka akhirnya bisa bertemu di satu kesempatan dan Sean menjelaskan rahasia hubungan terlarangnya dengan wanita itu dari awal tapi Irene tidak bisa menerimanya lagi. Irene dan Sean berpisah.

*

"Dan Sean, dia seakan ditelan bumi setelah mengacaukan hidupmu." lanjut Gabi kesal. Irene menelan ludah sedangkan dahinya mengerut. Tapi Sean memang pengacau. "Tidak ada yang tau kemana dia pergi. Aku dengar dia bahkan tidak hadir di pemakaman ayahnya. Selama ini perusahaan mereka dijalankan oleh sepupu perempuannya. Siapa namanya? Ah, Krystal. Krystal Jones." Gabi mengangguk. Irene hanya tau sedikit tentang siapa Krystal. Mereka tidak terlalu akrab. "Bagaimana aku tau semua ini? Aku punya teman yang kebetulan bekerja di sana. Lagipula semua orang bergosip tentang keluarga besar Sean Adriel walau mereka tidak tau apa-apa." ia mendesah lelah kemudian setelah bercerita panjang lebar.

"Semuanya memang berubah." perubahan yang tidak disangka-sangka oleh Irene. Seburuk itukah perubahannya.

"Yeah, dan hari ini kau bilang padaku kau bertemu dengannya kemarin di rumah sakit? Demi Tuhan, Irene, aku bahkan tidak pernah melihatnya menjenguk ibunya yang sakit. Anak durhaka." Gabi semakin kesal seakan ia bisa mengeluarkan api dari hidungnya.

"Bisakah kau tenang sedikit, Gabi?" pinta Irene pelan. Dan ia tau pasti Sean bukanlah anak yang durhaka. Jadi, ia tidak percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan Gabi kepadanya ini. Sean tidak datang ke pemakaman ayahnya? Tidak menjenguk ibunya yang sakit? Itu mustahil. Lebih dari siapapun, Irene tau kalau Sean sangat mencintai dan hormat pada kedua orang tuanya.

"Tidak, Irene! Aku tidak bisa!" Gabi menggeleng cepat. "Sekarang dia sudah berkeluarga lagi. Aku tidak bermaksud menyinggungmu, tapi apa dia masih dengan wanita yang dulu atau yang baru lagi? Ia juga sudah punya anak dan namanya sama denganmu?! Apa maksudnya itu?! Apa dia gila? Tapi kau tau apa kabar baiknya, Irene, siapapun istrinya, kita tau sekarang dia sekarat—"

"Sudah cukup, Gabi! Kau keterlaluan!"

Hening. Irene mendesah kasar sambil menyisir rambut dengan jari tangannya. Ia kemudian meminum habis wine di gelasnya, seketika merasa pusing dan haus, semua ini lagi dan lagi karena Sean. Irene benar-benar membutuhkan obatnya setelah ini. Sementara itu Gabi hanya diam saja, tapi demi Tuhan, ia tidak akan menarik kata-kata itu dan meminta maaf pada Irene.

"Maafkan aku." sesal Irene kemudian. Ia sudah membentak Gabi.

"Aku tidak tau, Irene, aku sangat membencinya karena apa yang dilakukannya padamu. Itu karmanya. Terima kasih Tuhan." sindir Gabi lagi. "Tapi aku masih tidak percaya dia sudah berkeluarga."

"Dan kenapa tidak?" gumam Irene, tapi tidak terlalu yakin. "Kita harus melanjutkan hidup 'kan?"

"Iya! Itu poinnya, Irene Quinn sahabat baikku!" desisnya gemas. Ia tidak ingin sahabatnya terjebak akan masa lalu dan masa sekarang. Itu buruk. "Dan kau juga harus begitu. Perlihatkan pada dunia, pada Sean, kalau kau juga bisa bahagia, tanpa dia."

Irene mengangguk samar sambil memainkan permata dari cincin yang melingkar di jari manisnya.

.

.

Bersambung

Goodbye Hello [ semi hiatus ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang