🍁
Keesokan harinya dirumah sakit.
"Wendy Grey. Perempuan. Dua puluh delapan tahun. Leukimia dan Lupus." Gabi berhenti membaca rekam medis pasien untuk melihat bagaimana reaksi Irene didepan yang mendengarkannya. Ia sangat kaget karena Irene menelponnya tiba-tiba memohon untuk mencari tau tentang Wendy. Informasi ini sebenarnya sangat rahasia tapi ia tetap melakukannya untuk Irene. Tidak bisa dipercaya. Gabi mendesah bosan saat Irene yang sejak tadi diam saja hanya mengangguk pelan, mengisyaratkan kepadanya untuk melanjutkan. Ini gila, pikirnya.
"Disini dikatakan kalau Wendy sudah melakukan pencangkokan sumsum tulang belakang dua tahun yang lalu untuk Leukimia dan dinyatakan sembuh. Tapi sekarang penyakit itu kembali lagi dan ditambah dengan diagnosa Lupus. Dia sudah dirawat dirumah sakit ini selama satu setengah tahun oleh dokter senior disini. Dokter Ram." Gabi menutup map kuning di tangannya, menaruhnya di meja lalu bersedekap menatap Irene.
Hening. Irene hanya bisa tertegun setiap kali sahabatnya berbicara tentang fakta keadaan Wendy karena penyakit-penyakit itu sementara Gabi sangat tidak suka dengan ide Irene ini. Apapun yang sekarang ada dipikiran sahabatnya itu.
"Aku akan bertanya ini sekali lagi kepadamu, Irene. Apa kau benar-benar yakin ingin menemuinya?" tanya Gabi yang masih tidak habis pikir. Irene menggigit bibirnya, ia gugup kemudian mendesah. Ia tidak yakin, Gabi tau itu. "Kenapa kau tiba-tiba melakukan ini, Irene? Hanya karena kau bertemu dengan adiknya dan dia menyuruhmu menemui kakaknya untuk terakhir kali? Untuk apa? Lalu apa, Irene? Dengar, kau, wanita ini bahkan Sean sudah lama berakhir. Kau tau ini hanya akan menyakiti hatimu lagi. Jangan biarkan itu terjadi." Gabi menggenggam tangan Irene erat seakan mengingatkannya untuk berpikir sekali lagi. Ia peduli.
"Aku juga tidak tau, Gabi." Irene menggeleng dan mendesah untuk kesekian kalinya. Ia tidak menceritakan surat itu kepada Gabi kecuali perjumpaannya yang tidak disengaja dengan Lara. Isi surat itu dan kata-kata Lara tentang Wendy yang sedang menunggunya kembali terngiang. Seakan tidak bisa dilepaskan. Ia dilema, perang di pikiran dan batinnya. "Aku benar-benar membencinya. Aku benci mereka berdua. Ini sangat sulit." gumamnya. Ia tidak berbohong dengan rasa benci itu setelah semua yang terjadi. Masa-masa sulit yang dilaluinya dan menghantuinya.
"Jadi?"
"Mungkin ini sudah jalan takdir?" Irene menelan ludah. Sangat sulit untuk menerima takdir ini begitu saja dengan lapang dada. Ia tidak bisa menolaknya, kan? "Semuanya ada disini. Mereka ada disini. Dan kau ada disini untuk membantuku." ia menatap sahabatnya lembut. Menggenggam kedua tangannya sama erat diatas meja, meminta pengertiannya. "Dihari pertama aku kembali kesini aku sudah bertemu dengan mereka, bahkan dengan putrinya yang tidak pernah terlintas sekalipun dipikiranku. Kau tau maksudku, Gabi."
"Aku hanya tidak mau sahabatku terluka lagi."
"Aku tau, Gabi. Dan aku berterima kasih untuk itu. Aku akan baik-baik saja. Aku janji." Irene menyakinkan sambil tersenyum kecil. Ini yang terakhir.
"Lantai empat. Kamar VVIP Nomor 256. Dia disana."
-
"Lara.." panggil Wendy tidak terdengar. Ia menarik nafas, mengisi udara kedalam paru-parunya yang sesak.
"Apa kau mengatakan sesuatu, Kakak?" tanya Lara yang melihat gerakan bibir dari kakaknya. Wendy mengangguk pelan membuat Lara kemudian membungkuk mendekatkan telinganya pada Wendy.
"Terima kasih." kata itu terdengar sulit diucapkan.
"Tidak, jangan berterima kasih kepadaku dulu, Kakak. Kau harus sembuh dan memberiku hadiah yang banyak karena aku sudah merawatmu selama ini. Kalau kau melakukan itu, barulah kau berterima kasih padaku. Okey?" Lara ingin menangis melihat senyum kecil kakaknya didalam masker oksigennya.
Wendy mengangguk pelan lalu memejamkan matanya. Menikmati setiap usapan Lara di kulitnya yang kering. Ia merasa sangat lelah. Tenaganya sudah habis untuk melawan rasa sakit di setiap jengkal tubuhnya. Obat-obatan yang harus terus ia konsumsi hanya malah semakin membuatnya merasa buruk. Ia merindukan putrinya, Irene. Apa yang sedang dilakukannya sekarang? Putri kecilnya yang setiap hari semakin tumbuh besar dan juga pintar, membuatnya sangat bangga walau tidak bisa berada disisinya untuk melewati hari-hari. Ia ingin sekali bertemu dengannya, memeluknya dan bermain bersamanya. Senyum Wendy tidak lepas karena membayangkan tingkah lucu dan manis Irene sekarang. Hal itu cukup untuk menghiburnya, melupakan sejenak kesakitannya.
Lara perlahan memiringkan posisi tubuh kakaknya dengan hati-hati untuk mengelap punggungnya dengan handuk hangat. Dengan kelopak matanya yang terasa berat untuk dibuka, Wendy melihat ke arah pintu.
"Ada apa, Kakak?" Lara melihat kakaknya bergumam sesuatu yang tidak jelas. "Apa begini sakit?" ia khawatir dan sekali lagi mendekatkan telinganya ke masker itu.
"Irene..." bisiknya.
.
.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Goodbye Hello [ semi hiatus ]
Romance"Aku pikir dia bisa merawatmu lebih baik daripada aku." katanya kemudian. Beberapa hari yang lalu, Joy bercerita kepadanya tentang pertemuan singkat kalian. Katanya kau terlihat sangat kacau, seperti pengangguran yang putus asa mencari pekerjaan. Te...