- -
Kau menuruni anak tangga dan tersadar, kedua orang tuamu masih setia duduk diruang keluarga. Mereka saling diam. Malam ini seharusnya menjadi malam yang hangat. Kau mengambil nafas panjang. Sekarang kau harus menghadapi mereka. Kau pasrah.
"Sean?.." ibumu adalah yang pertama menyadari kehadiranmu. "Oh, kau terluka, nak?" beliau khawatir sambil menyentuh hangat pelipismu. Kau mengangguk, mengisyaratkan kau tidak apa-apa. "Dan bagaimana Irene?" tanyanya kemudian akan keadaan menantu tunggalnya.
"Dia baik-baik saja—"
PLAAKK!!
Kau terhuyung saat tamparan keras mendarat dipipimu. Panas dan menyengat.
"Sayang, kau sudah berjanji— " ibumu terlihat kaget dengan sikap ayahmu.
"Kau bilang dia baik-baik saja?!" beliau mencengkram kerahmu. "Dia menangis dan histeris seperti itu dan kau bilang dia baik-baik saja?! Kau yakin itu Sean?!" dan lagi beliau menamparmu tanpa ampun. Ibumu mencoba melerai dan menenangkannya. Kau bergeming. Lagi, kau pantas menerima semua itu. Sekarang kau bisa merasakan rasa anyir darah didalam mulutmu. Beliau benar, Irene-mu sangat tidak baik-baik saja.
"Aku membesarkanmu dan mendidikmu untuk menjadi laki-laki yang pintar dan terhormat. Laki-laki yang menjaga nama baik dirinya dan keluarganya. Tidak seperti ini!" beliau kecewa, kau tau. "Bagaimana kalau berita ini sampai ke media?! Apa kata relasi kita kalau mereka sampai tau tentang ini?!" khawatirnya. "Suami macam apa kau ini— argh!" ayahmu terduduk disofa sambil memegang dada kirinya dan meringis sakit. Tidak tahan akan beban yang kau berikan dibahu tuanya.
"Sayang?!"
"Ayah—" Kau menghampirinya dengan khawatir tapi beliau menepis tanganmu. Tatapan marahnya kini penuh kesedihan menatapmu. Kau adalah putra satu-satunya, putra kebanggaannya.
"Pergi..."
🍁
5 hari kemudian.
Belum sampai seminggu tapi kau sudah merasakan hidupmu runtuh sedikit demi sedikit. Kau tidak menyangka situasinya akan serumit ini. Malam itu kau keluar dari rumah dan menuju satu tempat tapi seseorang yang ingin kau temui tidak ada disana. Lemari pakaian kosong, dia pergi dari apartemen yang kau belikan. Dia juga tidak bisa dihubungi, bahkan adik sepupunya yang kau kenal tidak tau kemana dia pergi. Dia benar-benar melakukan ancamannya padamu. Kau pikir akan bisa menghadapi apa yang terjadi, tapi nyatanya tidaklah semudah itu. Setelah apa yang Wendy Grey lakukan padamu, dia menghilang seperti ditelan bumi. Kau tidak tau harus bagaimana lagi.
Sekarang kau berada didalam mobil. Matamu tidak lepas melihat keluar jendela, menatap sebuah bangunan yang tidak asing lagi, sementara pikiranmu melambung jauh. Kau membuka pintu dan keluar dari mobil dengan cepat sesaat melihat seseorang yang kau kenal keluar dari butik itu.
"Joy!" panggilmu. Adik iparmu itu menoleh dan terkejut. Dia mengambil langkah cepat, berpura-pura tidak mendengarmu. "Joy, kumohon, tunggu dulu." Kau berlari tidak kalah cepat dan menahan lengannya.
"Apa yang kau inginkan?!" dinginnya, menepis tanganmu, membuatmu kaget. Dia adalah adik yang sopan.
"Joy, maafkan aku—"
"Kenapa kau meminta maaf padaku?" sindirnya kesal. Kau mendesah, ini tidak akan ada habisnya. Dia memiliki sifat yang hampir sama seperti istrimu, keras kepala.
"Dimana dia? Apa dia baik-baik saja?" tanyamu pelan.
Dua hari kau tidak pulang kerumah sejak malam itu. Kau sibuk terus mencari keberadaan Wendy dan hasilnya nihil. Kau pusing memikirkannya. Dan saat pulang, kau berharap suasana rumah sudah cukup tenang untuk kembali bicara pada istrimu, tapi ternyata rumah kalian sudah dalam keadaan kosong, sunyi sepi tidak berpenghuni. Dia pergi. Kau sangat panik dan takut. Kau berharap ini hanya mimpi, tapi ini kenyataan. Kau bertanya pada Bibi Anna tapi dia tidak tau apa-apa. Kau hilang kendali karena amarah dan memecatnya hari itu juga. Kau sendirian, didalam rumah yang penuh kenangan dan juga saksi akan ketegangan malam itu. Dan sampai sekarang kau tidak tau keberadaan istrimu dan bagaimana keadaannya. Kau sungguh mengkhawatirkannya.
"Chh kenapa kau bertanya padaku? Kau suaminya, dan kau seharusnya tau kalau istrimu baik-baik saja atau tidak."
"Joy, aku mohon." kepalamu mulai pusing lagi. "Aku ingin bertemu dengannya. Aku ingin bicara—"
"Itu percuma, dia bahkan tidak mau bicara padaku, adiknya." matanya nanar menatapmu. Lagi, kau merasa bersalah. Kau sudah mengecewakan dan menyakiti hati banyak orang. Dia sedih karena setiap malam hanya bisa mendengar tangisan kakaknya. "Teganya kau melakukan itu, Kak Sean?! Aku percaya padamu. Aku memberikan kakakku padamu karena aku percaya padamu. Kau tidak akan pernah menyakitinya." Dia menyeka air matanya. Waktu itu dia sangat bahagia dan antusias saat kau meminta restunya untuk menikahi kakaknya. "Aku pikir kau laki-laki yang berbeda tapi ternyata selama ini aku salah. Kau bahkan lebih buruk dari mereka."
Dengan itu dia pergi, masuk kedalam mobilnya dan melaju tanpa menolehmu. Kau terdiam, mencerna kata-katanya yang memang sangat benar. Kau berdiri sendiri ditepi jalan tanpa informasi apapun selain penyesalan. Kau mendesah lagi dan lagi saat menatap bangunan didepanmu, butik itu adalah hadiah ulang tahun darimu untuknya karena kau tau dia senang sekali menggambar pola-pola pakaian tapi tidak pernah ada kesempatan untuknya berkarir diluar sana. Wajah dan tangisan bahagia Irene-mu waktu itu kembali membuat dadamu sesak. Saat ini, kau harap masih akan ada kesempatan kedua untukmu darinya.
.
.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Goodbye Hello [ semi hiatus ]
Romance"Aku pikir dia bisa merawatmu lebih baik daripada aku." katanya kemudian. Beberapa hari yang lalu, Joy bercerita kepadanya tentang pertemuan singkat kalian. Katanya kau terlihat sangat kacau, seperti pengangguran yang putus asa mencari pekerjaan. Te...