- -
"Maafkan aku..." Kau menangis sambil memeluknya erat.
Butuh waktu hampir satu jam lebih sebelum dia bisa tenang, menutup matanya dan tertidur, masih dalam pelukanmu. Kau mendesah dan menahan air matamu saat melihat wajahnya yang sembab dan menyeka sisa air matanya. Kau mengusap rambutnya yang basah oleh keringat dan mencium lama keningnya. Betapa kau benci pada dirimu karena sudah menyakitinya. Kau memeluknya sekali lagi sebelum kemudian mengangkat tubuhnya dan membaringkannya diatas ranjang. Kau berdiri terdiam menatap wajahnya, rasa bersalah yang mendalam menggerogotimu. Kau melihat keadaan kamar, berantakan seperti kapal pecah. Kau mengambil foto pernikahanmu dilantai, bingkai dan kacanya rusak. Kau mengusapnya pelan, teringat akan hari yang membahagiakan waktu dulu, hari yang membuatmu menjadi laki-laki beruntung sedunia. Kau tersenyum pahit lalu meletakkannya lagi dimeja nakas samping ranjang sambil mendesah panjang untuk kesekian kalinya. Sekarang kau menjadi laki-laki yang paling berdosa sedunia. Tidak mensyukuri apa yang sudah kau miliki selama ini. Tidak menjaga dia yang ada di genggamanmu selama ini.
"Apa yang sudah kulakukan pada kita, Irene?" bisikmu sendiri.
"Tdak... u-mhon." Dia bergumam tidak jelas. "Jangan-" dan menggeliat gelisah. Kau duduk disampingnya dan menatapnya khawatir. Kau mengusap lembut rambut hitamnya, mencoba menenangkannya. Dalam diam kau menatap setiap inci wajahnya. Alis matanya yang tebal, kini mengerut dalam. Hidung mancungnya, kini memerah. Bibir manisnya yang tidak pernah bosan kau cium, kini bergetar sedih. Kau menatapnya dalam dan nanar seakan tidak akan pernah bisa melihatnya lagi.
Kau mendekat dan ingin menciumnya tapi dia berbalik, meringkuk didalam selimut sementara air mata terlihat kembali keluar dari sudut kelopak matanya.
"Pergi..." gumamnya singkat. Kau tertegun, bahkan dibawah alam sadarnya pun dia tidak menginginkanmu. Untuk kesekian kalinya, hatimu hancur. Kau merapatkan selimut ke tubuhnya dan beranjak, menatapnya sekali lagi dengan penuh penyesalan.
"Maafkan aku..."
Kau membuka pintu dan keluar dari kamar sesuai permintaannya.
"Tuan Sean?" Bibi Anna terlihat khawatir melihat lukamu. Itu hanya luka kecil, tidak sebanding dengan luka yang kau goreskan di hati istrimu. Kau baik-baik saja dan dia tidak.
"Tolong jaga dia..." ucapmu. Bibi Anna mengangguk patuh lalu masuk kedalam kamar.
Kau mengusap kasar wajah dan rambutmu. Matamu nanar, dadamu berat dan kau menangis ditemani semua penyesalan yang ada. Kau ingin berteriak tapi tidak ada gunanya. Kau meletakkan keningmu didinding, membenturkannya di sana beberapa kali. Marah pada dirimu sendiri.
"Bodoh! Kau bajingan, Sean! Tidak berguna! Brengsek!"
flashback
"Aku tidak bisa melakukan ini lagi. Maafkan aku." putusmu setelah berpikir keras untuk beberapa hari.
"A-apa? Apa maksudmu?" Dia menatapmu dengan mata gelisah. Kau mendesah sambil duduk di sofa, menghadapnya. Kau harus menghadapinya. Kau harus mengakhiri semua ini.
"Kau tau apa maksudku. Kau dan aku, kita.." Kau menekankan, menunjuk dirimu dan dia bergantian. "..ini salah." lelahmu.
"Tidak!" teriaknya sambil menggeleng setelah berhasil mencerna kata-katamu. "Ini tidak salah. Aku mencintaimu-"
"Aku punya istri!" potongmu, mulai kesal. Kau tidak suka saat dia menyatakan perasaannya padamu. Itu membuatmu semakin merasa bersalah pada istrimu yang tidak tau apa-apa dirumah. "Kau tau itu 'kan? Aku punya keluarga. Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Kita sudah berakhir, maaf." Kau berdiri dan ingin beranjak. "..Aku harus pergi."
"Bagaimana kalau istrimu tau tentang kita?" katanya, kau berhenti melangkah. "Aku akan mengatakan pada Irene-mu-"
"Jangan pernah kau menyebut namanya!" Kau berbalik dan menunjuk wajahnya dengan marah. Kau mulai muak dengan ancamannya padamu tentang istrimu setiap kali kau ingin mengakhiri apapun hubungan yang kau punya dengannya. Dia kaget, dan mundur satu langkah, waspada. "Jangan pernah kau berani untuk mendekatinya atau-"
"Kenapa?" Dia tersenyum miring, masih bisa meremehkanmu. "Apa kau takut padanya, Sean-"
"Aku tidak takut. Aku hanya takut pada apa yang akan aku lakukan padamu kalau kau berani mendekatinya seratus meter saja. Aku serius." ancammu. "Kau hanya selingkuhan bukan istriku, dan kau tau itu." sindirmu, kau tau itu menyakitkan untuk seorang wanita tapi kau tidak peduli lagi. Mendengar keseriusanmu, dia menjadi gugup. Dia selalu seperti itu dan membuatmu naik darah.
"T-tidak. Maafkan aku, Sean. Maaf, aku tidak akan melakukannya. Aku janji." katanya. "Aku mohon jangan pergi. Kau tidak boleh pergi, Sean." dia memeluk lenganmu erat, menahanmu. "Aku minta maaf. Maafkan aku.." dia menangis seperti anak kecil. Itu membuatmu mendesah kasar. "Kau tidak bisa meninggalkanku seperti ini. Aku hamil." Kau membeku dan menatapnya tidak percaya.
"Kau a-apa?" gugupmu.
"Iya aku hamil. Dua bulan. Dan ini anakmu." Dia memegang perutnya yang masih rata sambil tersenyum nanar dan kau hanya menatapnya tidak berkedip. "Anakmu membutuhkanmu, dan aku juga membutuhkanmu. Jangan tinggalkan kami." katanya, memelukmu erat, bersandar di dadamu.
Kau terdiam, kepalamu berdenyut pusing mendapat berita itu. Mengejutkan. Tiga bulan dari pertemuan yang tidak disengaja, situasi yang tidak disangka, cinta satu malam dan berlanjut sampai sekarang. Kau sudah bertindak terlalu jauh. Wajah ceria istrimu seketika terlintas. Itu membuat hatimu semakin berdarah. Apa yang akan kau lakukan?
"Dengarkan aku, aku akan bertanggung jawab. Sepenuhnya. Aku janji." Kau memegang pundaknya, meyakinkannya. "Tapi kita tidak bisa bersama. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa menyakiti istriku lagi." itu kenyataannya dan kau sudah memilih.
"Dan kau tega menyakitiku dan anakmu?" Dia benar. Kau sudah menyakiti dua hati sekaligus dan tidak lupa juga dengan istrimu. Tapi kau tidak mau kehilangan istrimu. Tatapannya kemudian berubah tajam. "Jika kau keluar dari tempat ini, kau akan menyesal, Sean." katanya dingin. Ada arti yang tersembunyi di sana dan kau tidak sadar itu. Tapi satu yang kau benar-benar sadari.
"Aku sudah menyesal, Wendy."
end flashback
.
.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Goodbye Hello [ semi hiatus ]
Romance"Aku pikir dia bisa merawatmu lebih baik daripada aku." katanya kemudian. Beberapa hari yang lalu, Joy bercerita kepadanya tentang pertemuan singkat kalian. Katanya kau terlihat sangat kacau, seperti pengangguran yang putus asa mencari pekerjaan. Te...