05. kematian singkat kakek pencari kayu bakar

579 100 163
                                    

T R A N S E D E N T A L

Terkadang logika akan
kalah pada sesuatu yang
tak terlihat.

"Ice, kamu liat Solar pergi ke mana?" Taufan bertanya khawatir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ice, kamu liat Solar pergi ke mana?" Taufan bertanya khawatir. Sudah di cari sampai mengelilingi rumah nenek pun, Solar masih tidak di temukan. Sampai-sampai Halilintar menyumpah serapah karena marah.

Ice saat itu tidak melihat kemana tepatnya si bungsu pergi, jadi anak itu hanya menjawab, "Aku cuman liat dia pergi ke luar, Kak. Aku ngelamun tadi."

"Payah!" Halilintar menyentak keras, membuat Ice mau tidak mau mendongak untuk melihat wajah dingin si sulung. "Harusnya kamu peringati dia! Kamu tahu sendiri kalau Solar itu nggak kenal daerah sini!"

Ah, di salahkan seperti ini bukanlah kesukaan Ice. Iya, Ice salah. Harusnya karena dia tidak ikut bermain, dia bisa menjaga saudara-saudaranya yang lain. Tetapi... memangnya Ice ini robot penjaga saudara yang sangat sempurna? Sangat sempurna sampai-sampai tidak akan bisa melakukan kesalahan?

Ice hanya terdiam bisu. Keributan di teras akhirnya membuat wanita ringkih itu keluar dengan wajah khawatir. "Kalian ribut apa lagi?"

"Solar hilang, Nek. Kami udah nyari di rumah sampai luar rumah. Tapi nggak ketemu." Jawab Gempa cepat.

Lantas raut wajah Nenek berubah khawatir parah. "Gimana bisa hilang? Ya ampun... biar Nenek bantu cari di luar." Wanita tua itu hendak beranjak turun dari teras, namun si sulung dengan cepat menghadang jalan Nenek dan berkata. "Nggak usah. Biar aku aja yang nyari."

"Yakin? Area hutan ini luas. Takutnya kamu kesasar."

"Yakin. Aku nggak akan kesasar."

"Kalau gitu, bawa Taufan atau Gempa, ya? Biar mereka nemenin kamu." Sontak saja kedua kembaran Halilintar mengangguk setuju. Tetapi si sulung tidak. Lekas saja dia menggeleng menolak, "Aku nggak mau bawa beban. Kalau sendirian aku bisa lari lebih cepet."

Lantas Taufan menyunggingkan senyum miris. "Okey. Kami nggak akan ikut."

Halilintar selalu saja begitu. Ucapannya selalu saja menyakiti hati saudara yang lain. Taufan diam-diam tidak suka──memang apa sulitnya memfilter ucapan? Mereka ini manusia, bisa sakit hati karena ucapan Halilintar.

Begitu Taufan bersitatap dengan manik merah Halilintar, segera saja anak nomor dua itu memalingkan wajah dan mengajak yang lain untuk masuk ke dalam rumah. "Ayo masuk. Kita cari sekali lagi di dalam."

Sedangkan si sulung, usai melihat semuanya sudah masuk ke dalam rumah, dia segera berlari keluar dari gerbang. Awalnya kakinya kebingungan untuk melangkah kemana, tetapi insting  yang di miliki kadang-kadang cukup berguna.

Dia berbelok ke kanan. Menerobos lebatnya pepohonan yang tumbuh tak beraturan. Air genangan di tanah kadang-kadang menimbulkan suara keciprat ketika di jejak.

[✓] Transendental : Forbidden Things  [ Halilintar ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang