T R A N S E D E N T A L
Gempa yang selama ini selalu
tabah telah pergi. Memukul jantung
semua orang hingga luluh lantak;
sakit tak terhingga.Seisi rumah menjadi sangat sesak, seolah-olah keributan tadi menenggelamkan semua orang di dalam air laut. Pukul delapan pagi, Nenek kembali pulang dengan tiga orang biarawati berpakaian serba hitam dengan tudung jubah lancip.
Nenek sempat bertanya perihal kesenyapan yang terasa kentara dan perihal noda darah yang berceceran di lantai, tetapi Gempa segera berkata bahwa ini hanyalah kecerobohan semata.
Semua orang berpakaian serba hitam. Gempa dengan lekat menatap bagaimana ketiga biarawati aneh itu duduk melingkar di tengah ruangan, membaca kitab-kitab sambil berbisik aneh.
Lantas ketika berbalik, di atas tangga paling atas, Ice sudah mengemasi semua bajunya ke dalam tas, sudah siap untuk pergi membawa mayat saudaranya.
"Kak Ice," Duri muncul dari belakang, menepuk pundak yang lebih tua dan mengulas senyum lebar, "Kakak beneran mau pergi?"
Ice hanya mengangguk kecil. Matanya tidak pernah lepas dari sosok Gempa di bawah tangga sana.
"Tapi... nggak ada kereta yang lewat, Kak. Jadwalnya cuman bulan depan." Alhasil atensi Ice teralihkan dengan raut wajah berkerut. Apa? Bulan depan? Yang benar saja! Kereta api adalah satu-satunya transportasi untuk pulang ke kota!
"Mau manggil taksi juga susah, nggak ada sinyal soalnya. Nggak ada jalan juga buat sampai ke sini." Sambung Duri perlahan. Tepukan di pundak sang Kakak berubah menjadi usapan lembut.
Lantas Ice hanya bungkam, matanya berkeliaran ke seisi rumah sembari berpikir keras. Kereta api tidak akan lewat, handphone tidak berguna, jalur jalan raya tidak ada di sini... lalu apa? Bagaimana caranya membawa mayat saudaranya pulang ke kota?
"Bersabar, Kak. Untuk sementara, kita kuburin Kak Blaze di sini. Nanti kalau aku udah bisa dapet sinyal, nanti aku cariin kendaraan buat pulang ke kota." Solar juga turut muncul di samping Ice, menguatkan dengan usahanya sendiri. Lantas manik Ice menerawang jauh, jika bisa bersabar sedikit, pasti dia dan Blaze bisa pulang.
Pada pukul sembilan pagi, Halilintar berjibaku sendirian menggali tanah hingga kedalamannya mencapai dua meter. Setiap ayunan sekop, setiap senti tanah yang semakin dalam, dan setiap kali bayangan tubuh Blaze yang akan di letakkan di dalam sini membuat Halilintar bernafas tidak teratur.
Halilintar tidak sanggup melepas adiknya.
Ketika kedalaman tanah sudah di rasa cukup, Halilintar melapisi tanah dengan potongan kayu-kayu kecil. Lantas dia merangkak naik ke permukaan dan menemukan bahwa ketiga biarawati itu telah berdiri di atas sana sejak tadi. Wajah mereka gelap, tertutup tudung jubah, membuat Halilintar mengernyit bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Transendental : Forbidden Things [ Halilintar ]
FanfictionC O M P L E T E D ✓ Kepergian Ibu saja sudah cukup untuk mengobrak-abrik mental mereka semua, namun sekarang, setiap hal janggal terus mendatangi hingga rasanya kepala mereka akan meledak saking lelahnya. "Aku mau pulang aja... mau pulang ke rumah...