14. ayah, eksistensi kokoh bak pilar penopang langit

468 88 153
                                    

T R A N S E D E N T A L

Gelap akan terang, jalan
gelap ini pasti akan
berakhir... pasti.

Hancur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Hancur. Gelap. Dingin.

Halilintar merasakan itu untuk waktu yang lama. Duduk menekuk lutut sambil memandangi kegelapan tak berujung. Pikirannya melayang, sempat berpikir bahwa dia ini mungkin sudah mati. Tetapi jika memang sudah mati, dimana saudara-saudaranya yang sudah mati?

Semuanya kacau balau. Rumit. Seperti tali temali yang bergerumul menjadi ikatan mati. Semuanya membuat otak Halilintar terasa hangus.

Dan semakin rumit ketika di rasa dirinya tersentak jatuh ke dasar jurang paling dalam hingga akhirnya membuka mata dan berdiri dengan bodoh.

Di dalam rumah Nenek.

Di antara darah mayat baru yang tergeletak di dekat kaki.

"Kenapa──" nafasnya tersendat-sendat, gemetar luar biasa menghampiri. Kini rumah tidak lagi gelap, malah terang dengan puluhan lilin yang telah menyala di sepenjuru ruangan.

Terang, sangat, hingga dia bisa melihat tubuh iblis Agares yang terlilit tali senar. Tergeletak mengenaskan, hampir terpenggal semua anggota tubuhnya saking kencangnya lilitan tali senar itu.

Hingga dia bisa melihat tiga mayat biarawati di dekat kakinya. Terkapar dengan jubah terkoyak oleh benda tajam.

Dan hingga dia bisa melihat Nenek, wanita renta yang tergantung di atas dinding, tertancap tepat di ujung tanduk rusa.

Siapa?

Siapa yang melakukan semua ini? Halilintar? Atau orang lain?

Dengan gemetar Halilintar mundur perlahan-lahan, matanya menciut seperti orang gila, mundur dan mundur sampai akhirnya nyanyian bernuansa klasik menggaung lagi.

"Hormati, hormati, hormati,

Berkati, berkati, berkati,

Jiwa terpilih, murni suci,

Bangkitlah sandera di malam ini."

Tidak peduli, Halilintar segera berbalik, berlari kencang menerobos hujan badai yang seolah-olah hendak meluluh lantakkan seluruh alam.

Lelah. Sangat. Ketika berlari satu langkah, tubuhnya terasa terkoyak, di kuliti hingga ke tulang-tulang. Sakit. Sangat. Halilintar ingin menyerah saja jika bisa. Halilintar ingin istirahat.

Tetapi adiknya masih di luar sana.

Maka di bawah guyuran hujan dan guntur, si sulung berlari menapak jalan setapak. Membelah lautan kegelapan dengan ratusan pasang mata putih dan merah yang berkedip girang.

"TAUFANNN!"

"ICEEE!"

"SOLARRR!"

Matanya kian memberat karena lelah. Makanya Halilintar berteriak, mencoba agar tetap terjaga sampai dia bisa menemukan adik-adiknya.

[✓] Transendental : Forbidden Things  [ Halilintar ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang