15. nyanyian anak-anak bak lantunan syair zaman eropa

348 73 76
                                    

T R A N S E D E N T A L
Mereka yang menuai

hasil kekejian orang
lain.

Bungkam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bungkam. Halilintar memaku diri sendiri, luruh semua semangat hidup, luruh semua harapannya. Susah payah keluar dari neraka gelap itu, susah payah menanggung rasa sakit ini, tetapi Adik-adiknya malah kembali ke sana.

"Gimana bisa..."

Lantas Ayah mendengus geli, tangan kokohnya masih memegang payung, sedangkan tangan satunya di gunakan untuk menggenggam si sulung. "Gempa yang jemput mereka. Satu jam sebelum kamu sampai ke sini."

Lalu apa? Halilintar harus apa? Kembali ke rumah neraka itu untuk membawa kembali adik-adiknya atau──

──pulang sendirian?

Hatinya bimbang. Sangat. Tetapi semuanya lekas buyar begitu dentang lonceng besar bergaung dari kedalaman hutan, terdengar seperti lonceng dari sebuah gereja.

Hutan-hutan bergoyang, hampir rubuh saking kencangnya angin yang membabi-buta. Guntur menyambar pepohonan, menciptakan nyala api yang mustahil muncul kala hujan berlangsung.

"Ayo," Pria itu menggenggam lebih erat, di tarik perlahan namun kuat, "Bentar lagi waktu pergantian hari. Kalau kita terlambat, kamu bakal ngelewatin hal yang paling sakral."

"Patuhi apa kata Ayah──"

"Selalu aja berlindung di balik kata patuhi Ayah." Halilintar mendongak, lamat-lamat memberanikan diri menatap tajam Ayahnya. Tangisnya pecah, tetapi untungnya tersamarkan oleh hujan. "Ayah tahu nggak apa yang udah terjadi selama aku ngejalanin apa yang Ayah suruh? Aku bertaruh Ayah nggak pernah peduli. Ayah cuman tahu cara memerintah aku──kami tanpa mikirin akibatnya."

Semuanya berputar menjadi kaset yang tertampil apik. Kilas-kilas balik pria dengan segala eksistensi tegas itu menghantui Halilintar, membuat jiwanya meremang karena tertekan terus menerus.

"Aku depresi," terdengar lucu, tetapi faktanya Halilintar tertekan karena beban tanggung jawab untuk menggantikan peran Ibu dan Ayah selama mereka berdua pergi ke luar negeri, "Aku capek. Ngurus enam saudara, ngurus rumah, ngurus nilai akademik sekolah──aku capek."

"Mama meninggal dan itu semua nambah beban pikiran aku. Ayah nyuruh aku tetep rasional, tapi waktu itu Ayah dengan bego nya ngelarang orang-orang buat ngurus mayat Mama."

Perlahan-lahan manik merah yang redup itu mengkilat karena linangan air mata. "Ayah aja sampai nggak waras, terus aku? Ayah mikir nggak gimana perasaan aku waktu itu?"

[✓] Transendental : Forbidden Things  [ Halilintar ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang