12. Duri, maaf atas semuanya yang sudah terlambat

488 95 96
                                    

T R A N S E D E N T A L

Dunia tidak akan membiarkan
yang mati untuk tetap
menetap.

Rasanya semua serba berputar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rasanya semua serba berputar. Halilintar dapat rasakan tubuhnya membeku──mati rasa. Dalam posisi terbaring lemas di atas rerumputan, Halilintar masih mampu menangkap samar-samar keadaan sekitar.

Tentang tiga biarawati berpakaian hitam yang sibuk mengelilinginya sembari berbisik aneh.

Tentang guntur yang kian menggelegar, sampai-sampai mata Halilintar bisa buta karena sorot putih itu.

Dan tentang Nenek yang menari seperti orang gila, tangannya terangkat ke udara──seolah-olah tengah memanjatkan puji syukur. Huh, memang benar-benar gila. Bahkan Nenek masih bisa bergerak dengan pisau tertancap di punggung.

"... Bedebah──kalian, semua." Lantas manik merahnya kian mendingin, menatap kepada para biarawati yang sibuk memutari dirinya.

Rasanya seperti ada bara api yang membara di dalam hatinya. Malu luar biasa menghampiri. Padahal dia ini sulung, tapi melindungi adik-adiknya saja tidak bisa. Perlahan-lahan Halilintar melontarkan tawa di sela-sela darah yang mengalir di mulut yang berdarah, mengundang tatapan aneh dari semua orang.

"Apa yang lucu, hm?" Nenek berhenti menari dan mempelototi si sulung.

Lantas Halilintar susah payah berbaring telentang, menatap langsung ke langit malam dengan senyum lebar. Darah di perutnya masih saja mengalir, menguras habis hingga tetes darah terakhir. "H──hahaha! Munafik... dasar tua bangka..."

"Aku nggak... rela──Blaze, Gempa, Duri, aku nggak rela, bangsat!"

Tepat setelahnya Nenek berlari kecil hanya untuk menjambak kencang rambut si sulung. Mata merah Nenek berputar-putar brutal, sedangkan bibirnya mengukir senyum paling kesal sedunia. "Terus kamu maunya apa? Mereka hidup lagi? Mana bisaaa. Ngaco kamu ini!"

BRAK

"Ya, kan, Gempa?"

Manik giok Halilintar sontak bergulir dan menemukan Gempa mulai berjalan lagi dengan tali senar di tangan. Cara berjalan anak nomor tiga itu tertatih-tatih. Raut wajah lelahnya mulai terlihat lebih kentara.

"Gempa──please, aku tahu kamu di sana..." Di tengah-tengah melawan gejolak rasa sakit, Halilintar berupaya keras menjangkau adiknya. Namun nihil. Gempa sudah pergi terlalu jauh.

"GEMPA──"

Dalam sekali sentakan, Gempa berhasil menyeret tubuh si sulung. Halilintar ingin memberontak, namun nyawanya seolah-olah hampir habis saking lemasnya. Seketika tubuhnya di lempar ke dalam sebuah lubang yang sangat dalam, terjerembab di atas tanah yang keras hingga akhirnya terbatuk darah lagi.

[✓] Transendental : Forbidden Things  [ Halilintar ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang