T R A N S E D E N T A L
Kepergian ibu saja sudah
cukup, jangan lagi ambil
siapapun di antara kami.Halilintar berani bersumpah bahwa hari ini adalah hari tersialnya. Bagaimana tidak? Mereka harus menunggu bus di halte selama setengah hari karena terlambat datang ke halte .Untuk itu, salahkan Taufan dan Blaze yang menjadi pelopor bagi adik-adik yang lain untuk bergadang demi serial India.
"Naik bus tiga jam, lanjut naik kereta api sekitar satu jam, habis itu kita bisa jalan kaki masuk ke dalam hutan kira-kira dua jam." Gempa meruntutkan perkiraan waktu yang ada di dalam goggle maps, sesekali juga remaja itu akan menegur adik-adik yang lain agar tidak ribut di dalam kereta.
"Kayaknya kita bakal sampai ke rumah nenek pas malem, ya?" Solar, sebagai bungsu yang selalu terdiam di sudut-sudut akhirnya bertanya jengkel. Lantas si bungsu mengeluarkan keluhan, "Yang bener aja! Yakali kita mau jalan kaki di hutan malem-malem!"
Halilintar dan Gempa hanya mampu terdiam ketika keluhan muncul satu persatu.
Taufan, anak nomor dua itu paling tidak suka gelap, jadi dia merengek seperti anak kecil. "Gila aja jalan kaki! Nggak! Aku nggak mau!"
Aksi protes itu diteruskan oleh Blaze, "Mending nyewa penginapan aja, Kak. Sekarang aja udah jam setengah empat sore. Ya, kan, Ice?" Lantas yang bernama Ice hanya akan mengangguk malas. Tudung hoodie birunya kian merosot menutupi seluruh wajah.
"Iya, Kak. Hutan itu seram. Duri takut..." Remaja yang sibuk memangku kucing kecil di pangkuannya terlihat cemas, sangat cemas. Lantas mata hijau besarnya menatap penuh harap pada Halilintar agar merubah pikiran.
Tetapi, si sulung Halilintar tetaplah orang yang keras kepala. Bukan hanya keras kepala, malah tidak berhati, pikir yang lain.
"Nggak. Kita bakal tetep terusin perjalanan." Halilintar menatap saudaranya satu persatu dengan datar. Lantas meledek terang-terangan, "Umur berapa kalian sekarang? Dua tahun? Payah kalian."
"Kak──" Gempa hampir menyela untuk memperingatkan, tetapi kalah cepat.
"Yang mau tinggal di sini, silahkan. Tapi jangan harap aku ngasih uang buat nyewa penginapan di sini." Dan setelahnya, kereta berhenti. Suara monitor berbunyi nyaring, berkata bahwa pemberhentian ke dua belas telah tiba.
Segera saja Halilintar berdiri dengan ransel besar di pundaknya. Dengan santai melengos lebih dulu dan mau tidak mau yang lain harus mengikuti.
Halilintar itu iblis. Tidak berhati. Jabatannya saja sebagai sulung, tetapi tidak pernah becus menjalankan tugas.
Halilintar itu diktaktor. Harusnya Gempa atau Taufan saja yang jadi Sulung. Itu lebih baik daripada Halilintar.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Transendental : Forbidden Things [ Halilintar ]
Fiksi PenggemarC O M P L E T E D ✓ Kepergian Ibu saja sudah cukup untuk mengobrak-abrik mental mereka semua, namun sekarang, setiap hal janggal terus mendatangi hingga rasanya kepala mereka akan meledak saking lelahnya. "Aku mau pulang aja... mau pulang ke rumah...