16. aku bayar berapapun harganya; jiwa, raga, nyawa

448 84 119
                                    

T R A N S E D E N T A L

Dia melindungi nyawa
terakhir yang dia miliki. Dia
benar-benar melindungi
adik-adiknya.

Dari kedalaman sana, percikan pantulan jingga dari pendar lilin berkilauan bersama arus yang mengalir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Dari kedalaman sana, percikan pantulan jingga dari pendar lilin berkilauan bersama arus yang mengalir. Sungai. Di bawah lantai, di bawah rumah ini adalah sungai.

Kira-kira apa maksud dari sungai di bawah sana?

"Apa ada sesuatu di bawah sini?" Memutuskan bertanya, Taufan mendongak untuk menatap anak perempuan bergaya eropa itu. Tetapi jawabannya hanyalah anggukan. Semua anak-anak ini tidak ada yang berbicara, mata bulat yang hitam legam itu menatap kosong terus menerus.

Semuanya bisu.

Tepat setelahnya Solar menarik tangan Taufan, menggelengkan kepala dengan wajah rumit. "Kita harus pergi sekarang, Kak." Tetapi mata abu-abu Solar seolah-olah mengatakan, mereka jiwa-jiwa orang yang udah mati. Kita nggak tahu mereka itu jahat atau enggak.

"Ayo pergi." Ice berucap, manik birunya diam-diam bergulir mengitari semua anak-anak yang mengelilingi mereka.

"Okey──"

"Pendosa merangkul ratusan jiwa,

Menjauhkan mereka dari dermaga,

Mengenyahkan mereka dari keselamatan,

Dan mencegah mereka temukan jalan."

Ketika mereka akan pergi, anak-anak perempuan itu berdiri menghalangi pintu. Satu persatu dari mereka mendongak dengan wajah beku.

Sontak saja Taufan menggenggam lebih erat kedua tangan adik-adiknya, mundur dengan wajah memucat. "Kami pengen pulang, cuman itu."

Hening merayap, mencekik, membuat mereka bertiga merinding dengan sendirinya.

"Biarin kami pulang. Ini bukan tempat kami."

Satu dua tiga, cahaya lilin padam tertiup angin kencang yang mengantar aroma anyir bercampur aroma manis gulali. Taufan gemetar perlahan-lahan, menatap kegelapan yang mulai mendekam dan puluhan pasang mata putih yang berkedip di kegelapan.

Anak-anak perempuan itu terus berjalan, menyudutkan ketiga bersaudara hingga mau tidak mau berjalan mundur.

Anak-anak ini... apa yang mereka mau?

Kriet

Ice berbalik dan menemukan kakinya hanya tinggal selangkah lagi dari lubang retakan di lantai. Mundur sedikit lagi dan dia bisa memastikan bahwa mereka akan jatuh ke dalam sana.

"Anak-anak Ayah udah bangun?"

Dan setiap tapak kaki berhenti, memaku seolah membeku ketika suara pria paruh baya menyapu telinga di tengah-tengah hujan yang mengguyur. Guntur menyambar dan presensi Ayah yang berdiri tak jauh dari gerbang mulai terpampang.

[✓] Transendental : Forbidden Things  [ Halilintar ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang