03. Hujan-Nya Semesta

359 35 4
                                    

Langit akhir-akhir sedang tidak baik-baik saja, kelabunya masih sama meski gelap datang menyapa. Langit masih suram tanpa bintang dan sembunyi-nya bulan di balik awan hitam membuat malam semakin suram. Di antara gelapnya malam ada Zayyan, duduk sendirian pada bangku taman, menikmati kelamnya malam ketika hujan dalam perjalanan, menikmati dinginnya angin malam menusuk kulitnya dan menikmati kesunyian menemani kepalanya yang berisik.

Sebenarnya Zayyan benci sendirian, dia benci sunyi merangkulnya tanpa mengatakan apa-apa, dia benci sepi menggelar tikar bersamanya tanpa mencurahkan apa-apa. Tapi untuk kepalanya yang berisik dia butuh waktunya, dia butuh waktu untuk sendiri, dia butuh waktu untuk bercerita pada sunyi, dia butuh waktu untuk menumpahkan gelisahnya pada tikar yang digelar sepi.

Dulu dia tidak membutuhkan itu semua, dia tidak butuh sendiri, tidak butuh ditemani sunyi, tidak butuh juga bersandar pada sepi. Dulu kepalanya pun tidak begitu berisik. Dulu hidupnya sudah begitu cukup, sudah begitu bahagia sehingga Zayyan tidak butuh apa-apa. Sampai hari itu semuanya hancur berantakan begitu saja, hidupnya diremukkan tanpa aba-aba, hatinya dipatahkan tanpa sengaja.

"Kenapa harus gue? Hahh? Dari banyaknya manusia di dunia kenapa harus gue?? Kenapa harus gue?? Kesalahan apa yang gue lakuin sampe gue harus menanggung semua ini?"

Zayyan tahu seharusnya dia tidak mengeluh, seharusnya dia tidak boleh mempertanyakan semua hal yang telah Allah takdirkan dalam hidupnya. Tapi kenyataannya Zayyan sudah kelelahan, hatinya sudah menemui akhirnya, hatinya lelah, dia butuh rehat sejenak dari dunia yang begitu hampa.

Seringkali Zayyan memohon pada pemilik raganya untuk membawanya pulang, dia sudah lelah menjelajah dunia yang tidak memberinya apa-apa selain luka. Kehilangan Mama, mengetahui pengkhianatan Papa pada hari yang sama ketika usianya masih muda bukanlah hal yang ingin Zayyan rasakan. Bukan ini yang Zayyan mau.

"Maaf, Zayyan minta maaf"

Entah karena kesalahannya di masa lalu atau karena Allah terlalu mencintainya sehingga dia harus hidup dalam luka yang ditinggalkan Mama dan Papa, Zayyan hanya bisa meminta maaf pada Pemilik segalanya.

Zayyan menengadahkan wajahnya menyambut tetes demi tetes hujan yang mulai berjatuhan menyentuh kulitnya, merasakan dingin yang dihasilkan terserap kulitnya. Rasanya memang membekukan tapi Zayyan menikmatinya karena untuk Zayyan hanya dengan begini dia bisa menangis tanpa ketahuan siapa-siapa.

"Loe sesuka itu ke sini ya, Ta?"

Zayyan mengalihkan tatapnya pada Angkasa yang kini telah mendudukkan diri di sebelahnya. Angkasa itu kayak jelangkung yang suka datang tiba-tiba lalu pergi tanpa kata dan entah bagaimana Angkasa selalu ada ketika Zayyan sedang berduka. Awalnya Zayyan tak nyaman tapi sekarang Zayyan terbiasa dengan Angkasa yang kayak jelangkung itu.

"Loe kenapa suka ke sini sih, Ta? Udah kek rumah loe nih taman saking seringnya loe ke sini, kenapa gak sekalian pindah aja ke sini dah?"

Pertanyaan random Angkasa membuat Zayyan membuang napas lelah. Apa-apaan itu Zayyan masih punya rumah yang berbentuk gedung, punya atap, kamar, dan lainnya. Tempat untuknya berteduh, tempat untuk mengistirahatkan raganya tapi tidak dengan hatinya. Untuk hatinya di sinilah Zayyan pulang.

"Gak pa-pa. Loe sendiri ngapain ke sini? Tiap gue di sini pasti ada loe? Loe ngikutin gue apa gimana?"

"Huekk enak aja gue ngikutin, gue gak segabut itu kali"

Mendengar tanggapan Angkasa membuat Zayyan melirik sinis Angkasa. Apa-apaan itu, minta ditabok apa gimana?

"Nyenyenye gii gik sigibit iti, tapi tiap gue di sini loe pasti juga ada di sini" cibir Zayyan dengan wajah julid khasnya.

Angkasa-nya Semesta ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang