22. Bintang

206 34 10
                                    

Husein yang tahu sebesar apa perjuangan yang adiknya lakukan untuk bertahan di dunia ketika dunia bahkan terus memberinya luka. Husein yang tahu sedalam apa luka yang adiknya derita. Husein yang tahu bagaimana perasaan adiknya dan Husein tahu bagaimana perjuangan adiknya untuk bertahan sebelum benar-benar menyerah.

Husein tidak menangis ketika menerima telpon dari kepolisian tentang adiknya. Dia tidak menangis ketika mengetahui bahwa adiknya salah satu korban meninggal di tempat. Dia tidak menangis ketika raga tanpa nyawa itu pulang dan di baringkan di tengah rumah. Tapi air matanya akhirnya luruh ketika tangis Davin menggema keras, mengaung memenuhi ruang tamu yang sudah mulai ramai. Air matanya mulai deras ketika Sing datang dan meminta adiknya bangun.

Setelahnya, Husein kembali tidak meneteskan airmata ketika memandikan raga itu, ketika dia mulai mengusak surai lebat itu, ketika ia mendaratkan kecupan terakhir di puncak kepala adiknya, ketika dia menurunkan dan membaringkan raga itu di rumah terakhirnya. Tapi tangisnya mulai menggema tanpa dapat ia cegah ketika adzan terakhir untuk Zayyan dari Davin mulai menggema. Ketika suara bergetar Davin melantunkan setiap bait indah itu di rumah baru Zayyan.

Gema tangis Husein terdengar untuk pertama kalinya setelah kematian Zayyan hari itu bukan karena dia tidak bisa mengikhlaskan tapi karena setelah hari ini dia tidak akan bisa bertemu adiknya, dia tidak akan bisa melihat senyum manis adiknya, dia tidak akan bisa memanjakan adiknya. Dia tidak tahu bagaimana bisa menyembuhkan luka yang adiknya tinggalkan untuk adiknya yang lain.

"Adikku, Yah adikku udah gak sakit lagi. Dia gak akan ngerasa sakit lagi. Dia... Dia udah... Pulang."

"Ayah tahu-Ayah tahu, nak. Abang kuat ya masih ada adek yang harus Abang jaga."

Husein mengalihkan tatapnya pada sosok Davin yang bersimpuh menatap liang lahat yang sudah mulai tertutup. Air mata Davin kian deras bersama isak tangisnya yang masih meraja. Husein membawa langkahnya menghampiri Davin dan menarik adiknya itu dalam pelukan. Membiarkan anak itu menumpahkan tangis di dadanya, membiarkan anak itu meluapkan sesak yang mengusik dada.

Ia pejamkan kedua matanya, membiarkan air mata itu pun luruh membasahi kedua pipinya. Dekapnya mengerat pada tubuh Davin yang terus bergetar karena hebatnya tangis anak itu.

"Ajay, kenapa gak bilang sama Abang kalo pulangnya ke sana, Dek?" Lirihnya pelan.

Angin lembut menerpa wajahnya, membelai wajahnya, mengeringkan air mata di pipinya. Husein membuka matanya perlahan dan hamparan ladang bunga matahari menyambutnya. Mata legam itu mengerjab pelan, meraba dekapnya dan tak ada lagi Davin di sana, tak lagi terdengar isak tangis pilu adik bungsunya. Kini hanya gemercik dedaunan yang terdengar bersama suara hembusan angin yang bermain lembut di atas hamparan bunga matahari membuat bunga-bunga itu bergoyang pelan seolah menari bersama iringan musik angin.

Husein menghapus air mata yang masih tersisa di pipinya. Matanya menyipit, menatap seseorang yang berdiri di pinggir ladang dengan bunga matahari di tangan. Rambut kriwil melambai tertiup angin, tubuh tegapnya, punggung kokoh itu dan pakaian serba putih yang Husein tahu betul milik siapa.

"Ajay!!" Panggilnya dan ketika sosok itu berbalik senyum manis yang masih ia ingat betul menyambutnya.

Husein berlari dan mendekap raga itu, raga yang akhirnya bisa ia rasakan detak jantungnya, bisa ia lihat senyum manisnya, bisa ia rasakan-

"Jay, dek badan loe dingin banget. Kenapa dingin banget, Jay? Loe bisa sakit kalo kek gini. Loe-"

"Bang, gue gak bakal sakit lagi. Gue udah sembuh sekarang, gak akan sakit lagi."

Angkasa-nya Semesta ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang