20. Angkasa-nya Semesta

295 34 35
                                    

Sing membawa langkahnya, menapaki jalanan hitam di bawah langit yang beranjak kelabu. Netranya menatap orang-orang berlalu lalang usai sholat jum'at. Sejenak dia berdiri diam di sana, menatap orang-orang yang beranjak pulang atau duduk-duduk pada teras masjid menunggu jemputan atau sekedar ngobrol dengan sesama jemaah.

Biasanya Sing menunggu seseorang di sana untuk pulang bersama usai seseorang itu menyelesaikan kewajibannya. Tapi hari ini Sing tidak menunggu siapa-siapa, hanya lewat untuk mengenang lagi masa-masa yang hilang.

Sing kembali membawa pijaknya menjauh, menapaki lagi jalur kenangan dan menikmati dinginnya angin meniup kulitnya. Sing menaikan tudung Hoodie yang ia kenakan kala rintik air mulai menyapa. Langkahnya masih ia bawa pelan ketika orang-orang mulai berlari menghindari rinai hujan yang mulai deras.

Ada retak parah yang tak mampu Sing pulihkan di hatinya, tempat seseorang yang ia cintai dengan sepenuh hatinya, tempat seseorang yang saat ini masih menjadi pemilik tahta tertinggi dan tempat seseorang yang berhasil menyadarkannya dari kesalahan sebelum ia terjatuh lebih dalam.

Dia, Sing atau Angkasa Sing Arhaan nama yang orang tuanya berikan kepadanya diambil dari 3 bahasa berisi doa indah pada Angkasa seorang laki-laki yang mencintai Tuhan. Dan sekarang Sing, laki-laki tampan itu memang mencintai Tuhan-nya lebih dari apa pun di dunia, lebih dari seseorang yang masih dia cintai.

Sing menengadahkan wajahnya, menerima tetes demi tetes hujan yang menerpa wajahnya, menyamarkan lelehan air mata yang tak mampu dia tahan. Sing masih begitu mengingat bagaimana indahnya suara seseorang itu memanggilnya Angkasa. Dari banyaknya orang yang mengenalnya hanya orang itu yang memanggilnya Angkasa.

"Angkasa itu indah, Angkasa itu luas, loe juga gitu"

Sing menghentikan langkahnya, menatap hamparan luas rumah seorang laki-laki yang ia cintai. Seorang laki-laki yang memanggilnya Angkasa, seorang laki-laki yang sering ia tunggu di depan masjid ketika Jum'at tiba. Laki-laki yang ingin dia miliki, laki-laki yang ingin ia berikan apa pun dan lakukan apa pun. Laki- laki itu ....

Semesta Zayyan Themis.

Nama yang begitu indah, nama yang masih mengisi relung-relung di hatinya, nama yang memiliki kenangan terbanyak di lemari hatinya, nama yang selalu ia sebut dalam doa, nama itu yang kini terukir cantik di atas batu nisan. Semesta sudah pulang, orang itu benar-benar meninggalkan dirinya sendirian, benar-benar pergi setelah mengatakan selamat tinggal, benar-benar pergi setelah memintanya untuk menjaga diri.

Sing mengelus ukiran cantik bertuliskan nama Semesta itu, air matanya luruh ketika otaknya memutar lagi hari terakhir dia melihat Semesta, hari terakhir ketika Leo dan Alex datang ke rumah dengan berderai air mata. Hari itu bukan senyum lebar atau suara tawa Semesta yang ia lihat dan dengar tapi wajah tanpa rona Semesta yang terbaring di tengah rumah juga tangis Davin yang menggema. Hari itu Angkasa kehilangan Semesta-nya.

....

Pagi ini mendung memayung langit, awan kelabu itu berarak-arak menutupi sinar mentari pagi. Sing, pemuda tampan itu menyibak tirai tebal yang menutupi jendela, membiarkan sedikit sinar yang tersisa memenuhi kamarnya.

Semalam ia pulang sangat larut karena jalan menuju rumah macet parah akibat kecelakaan beruntun setengah jam sebelum ia pulang. Beruntung ia pulang sedikit telat jadi dia tidak terlibat dalam laka lantas itu. Kecelakaan itu sangat parah, dua mobil sedan bertabrakan hingga mengalami kerusakan parah, juga ada sepeda motor yang terjepit diantara sedan pertama dan mobil pick up di belakang. Entah bagaimana kondisi pengemudinya, Sing tidak terlalu memperhatikan karena semalam yang ia butuhkan hanya pulang.

Angkasa-nya Semesta ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang