04. Bagi Angkasa

298 36 4
                                    

Sing menatap punggung Semesta lama, sampai cowok itu menghilang di balik pintu pun dia masih di sana menikmati sisa hangat Semesta yang masih tertinggal bahkan ketika cowok itu tak lagi di sampingnya. Setelah detik berganti menit Sing berbalik sambil merentangkan kedua tangannya menikmati rinai kecil hujan yang masih tersisa. Menikmati sensasi menusuk dari angin malam dan menghirup dalam-dalam petrichor yang ia suka.

Malam ini datang lagi dan terlalu sering datang ketika ia mendapati Semesta duduk di bangku taman, menatap Lamat kejauhan dengan mata boba cowok itu memancarkan kepedihan. Sing mengerti ada begitu banyak luka yang cowok itu simpan sendirian, ada duka yang tak mampu cowok itu luapkan dan ada amarah yang terus menumpuk tanpa dapat ia lampiaskan.

Karena itu Sing akan berusaha untuk selalu ada di sana, menjadi tempat cowok itu menumpahkan pedihnya, menjadi bahu bagi Semesta bersandar. Sing akan selalu ada untuk Semesta bahkan jika hanya menjadi badut agar Semesta bisa tertawa. Setidaknya Semesta tidak larut dalam kepedihannya.

Sing membawa lagi langkahnya berlari-lari kecil di atas genangan air, menari-nari di bawa rinai kecil yang masih tersisa. Hari ini tugasnya memastikan Semesta baik-baik saja telah usai. Esok hari dia akan memastikan lagi cowok itu bahagia dengan satu atau lain cara.

Bagi Sing, Semesta adalah tempatnya bersandar, tempatnya kembali untuk mendapatkan pelukan seperti angkasa yang selalu berada dalam pelukan semesta. Namun karena saat ini semestanya sedang tidak baik-baik saja jadi biarkan angkasa saja yang memeluk Semesta.

...

Pagi ini sepertinya langit sedang bahagia, dilihat bagaimana silaunya mentari menembus gorden kamarnya. Sing membuka mata, menggeliat kecil lalu menguap sedikit sebagai tanda bahwa kantuknya masih tersisa. Selagi mengumpulkan nyawa Sing mengingat kembali malam yang telah ia lewati hingga akhirnya tertidur setelah sedikit menerima omelan dari ibunya.

"Pagi cicak ekor belok!" Sapanya asal sambil merentangkan kedua tangan lalu beranjak membersihkan diri sebelum memulai harinya yang itu-itu saja.

Usai memastikan penampilannya maksimal. Kaos oblong putih dan jeans selutut membalut tubuhnya serta wajah tampannya yang telah ia poles dengan skincare hingga menambah kadar ketampanannya. Bagi Sing wajah orang lain boleh kusam tapi tidak untuk Angkasa Sing Arhaan.

Sebenarnya hari ini Sing tidak ada kegiatan sama sekali hanya saja menjadi tampan bagi Sing adalah kewajiban agar ia bisa menggaet tante-tante cantik untuk kemudian ia tawarkan pada teman-temannya.

"Pagi Ma, Pa" Sapanya lalu mendudukan  bokongnya pada salah satu kursi untuk memulai sarapan.

"Hari ini kamu gak kemana-mana?" Tanya Mama sembari meraih dua lembar roti tawar lalu mengolesinya dengan selai stroberi kesukaan Sing.

"Gak, Ma. Tapi nanti rencananya agak siangan mau main ke rumah Semesta sekalian ketemu Davin juga udah lama banget gak ketemu anak itu"

"Sekali-kali ajak Davin main ke sini udah lama dia gak ke sini. Bilang sama dia Mama kangen gitu"

"Iya, nanti aku bilangin deh" Balas Sing dengan sedikit tak ikhlas pasalnya Mamanya ini sangat menyayangi Davin bahkan lebih dari Sing. Anaknya sendiri.

"Ajak kakaknya juga boleh. Anaknya seru kalo diajak main catur. Kalo sama kamu kurang seru. Kamu kalah terus" tambah Papa seolah sengaja menggodanya. Tak ayal hal tersebut membuat Sing semakin mengerucutkan bibirnya.

"Iya-iya. Nanti Semesta sama Davin suruh ke sini biar aku yang pindah ke sana. Puas Papa, Mama?"

Papa dan Mama sontak mengudarakan tawa membuatnya semakin mengerucutkan bibirnya. Sing tuh senang kalau teman-temannya dekat dengan Papa, Mamanya tapi terkadang kalau jailnya kedua orang tua ini sedang kumat dia suka sedikit cemburu. Seharusnya kan sebagai anaknya, dia harus lebih disayang bukan teman-temannya.

Angkasa-nya Semesta ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang