05. Sejak Kapan?

267 33 11
                                    

Warning!!! Cerita ini mengandung BXB but tidak berfokus kesana. Mohon bijak dalam membaca.

Malam ini Sing memutuskan bermalam untuk menjaga Semesta yang sedang tidak baik-baik saja. Usai memastikan Semesta tidur kini Sing tengah berada di balkon kamar Semesta menatap rembulan yang malam ini bulat sempurna dan bersinar begitu cerahnya. Seharian menjaga Semesta, memastikan cowok itu makan dan minum obat tepat waktu, memastikan panas cowok itu menurun Sing menyadari bahwa ada detak asing di hatinya setiap kali dia menatap wajah pucat Semesta, ada debar tak menentu yang membuat Sing kewalahan setiap mendengar gumam kecil Semesta dalam tidurnya.

Sing menyentuh dadanya, menekannya lama memastikan bahwa detak asing itu tak lagi ada. Meyakinkan hatinya, Sing mengalihkan tatapnya pada Semesta yang tengah tertidur dengan handuk kecil di dahi dan selimut menyelimuti sebatas dada. Dan detak asing itu datang lagi, debar gila itu kembali hadir seolah memang tak pernah hilang. Setika itu juga Sing berpaling, jemarinya meremat dadanya kuat. Dengan napas yang tak lagi teratur Sing menengadah, menatap langit dan rembulan di atas sana sembari menyebut nama Tuhan-nya.

"Ya Tuhan, jantung gue kenapa?" lirihnya.

Kedua mata indah itu perlahan menutup, Sing menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan mencoba menghapus perasaan yang kian menggila, mencoba menghentikan debar tak wajar di dadanya, mencoba membunuh detak asing yang mulai tumbuh di hatinya. Sungguh, Sing tidak menginginkan ini, dia tidak ingin jantungnya berdebar kuat ketika menatap Semesta, dia tidak ingin merasakan detak asing di dadanya ketika mendengar gumam kecil Semesta. Sing sungguh tidak ingin gila karena bayang-bayang Semesta bergelayut di pelupuk matanya.

"Ya Tuhan, sejak kapan? Ini kenapa?"

Sing kembali menatap dirinya yang lain di atas sana. Menatap angkasa yang malam ini begitu indah dengan bulan bulat sempurna bersinar begitu indahnya. Menatap angkasa biru tua tanpa awan yang menutup keindahannya. Sing ingin menjadi angkasa malam ini, dia takut ketika awan gelap menutup dirinya semesta tidak lagi ingin memeluknya, dia takut ketika gelap datang semesta tak lagi mau merengkuhnya.

"Bukan itu kan, Tuhan? Bukan itu kan? Tolong, bukan itu kan??"

Jemarinya tergerak mengacak rambut legamnya dan menariknya kuat berharap dengan begitu pikiran gila itu menghilang dan berhenti mengacaukan perasaannya. Berharap dengan begitu pikiran gila itu berhenti memporak-porandakan hatinya. Karena ini gila, perasaan ini tidak harusnya ada, Sing tidak seharusnya memikirkan bahwa dia jatuh cinta pada Semesta, kepalanya tidak seharusnya merangkai bayang-bayang gila yang membuat hatinya resah. Ini tidak seharusnya ada Semesta adalah laki-laki begitu pun dirinya.

"Sial sial sial sial sial sialan!!"

Bagaimana bisa dia menyimpulkan begitu saja bahwa dia jatuh cinta pada Semesta? Bisa saja ini salah, bisa saja dia hanya salah paham, bisa saja detak asing ini ada karena dia khawatir pada Semesta. Iya, bisa saja begitu. Sing yakin memang benar begitu. Dia masih suka melon gede dan bodi gitar spanyol seperti punya Tante Meli tetangganya. Tidak mungkin dia begitu saja pindah haluan pada dada datar, lurus dan berbatang seperti punyanya. Meskipun memang dia akui daripada tampan seperti laki-laki pada umumnya Semesta ini memang manis nyerempet cantik.

"Bisa gila gue lama-lama"

....

Pagi ini angkasa sama cerahnya seperti tadi malam, sinar mentari masuk dari celah-celah hordeng hitam milik Semesta membuat Sing yang masih bergelut dengan tidurnya perlahan terbangun. Pemuda tampan dengan tinggi 183 cm itu menguap lebar sambil menggeliat. Mata bobanya mengerjap-erjap mengumpulkan nyawanya yang belum penuh.

"Eh kemana tuh bocah??"

Namun alangkah kagetnya dirinya ketika matanya yang sudah fokus tidak mendapati Semesta di tempat semalam. Entah kemana temannya itu menghilang karena kasur milik Semesta sudah rapi bahkan seprei sudah berganti.

Angkasa-nya Semesta ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang