Pagi dini hari Christy terbangun dari tidurnya, gadis itu mengucek-ngucek mata sembari meregangkan seluruh tubuhnya. Kini pandangannya mulai tertuju pada Shani yang masih tertidur di sampingnya, orang yang ia sayangi sekaligus dunianya saat ini sampai kapanpun.
Perlahan Christy mulai turun dari kasur menuju kursi belajarnya untuk mengerjakan beberapa tugas yang belum selesai. Gadis itu mengambil beberapa buku yang tersusun di atas meja, pandangan Christy tertuju pada kertas jadwal yang tertempel jelas di hadapannya. Tangan mengambil pulpen lalu membuka setiap lembar kertas dari buku itu.
"Sayang?? Dari kapan kamu bangun, nak?" ujar Shani begitu lembut saat beberapa menit Christy mengerjakan tugasnya. Shani sudah merubah posisinya menjadi duduk di ujung kasur memerhatikan putrinya yang membelakangi tubuhnya.
"Bunda?? Dari kapan Bunda bangun? Aku pikir siapa." Gadis itu memutarkan tubuhnya menoleh pada sang Bunda yang berada di belakangnya.
Shani beranjak lalu mendekat pada Christy. Tangannya menyentuh pundak sang Anak yang duduk di atas kursi. "Bunda nanya kamu, kenapa kamu malah nanya balik?"
Gadis itu mendongak menatap sang Bunda dengan cengirannya. "Hehe, Christy dari tadi udah bangun, lagi ngerjain tugas yang belum selesai, Bun."
"Kenapa gak bangunin Bunda? Lengan kamu masih sakit gak?" Shani menyentuh lengan Christy melihat keadaannya yang kini sudah berperban.
Christy kembali mendongak menatap Bunda. "Udah enggak kok, Bun. Lagian luka kayak gini gak buat Christy lemah. Bunda tau kan kalau Christy jagoannya Bunda," ujar gadis itu lalu tersenyum lebar untuk Shani.
Shani terdiam lalu tersenyum tipis membalas senyum putrinya. "Bunda tau kok, kamu selalu berusaha buat kelihatan baik-baik aja. Kamu gak mau Bunda sedih, makanya kamu nyembunyiin rasa sakit itu. Bunda gak tau harus gimana, sayang. Tapi Bunda janji bakalan selalu ada di samping kamu," batin Shani dengan tatapan sendu, lalu perempuan itu mencium kedua pipi Christy untuk mengalihkan kesedihannya. "Bunda keluar, ya? Bunda mau siapin bekal kamu."
Christy tersenyum. "Iya, Bunda."
•
•
•Kini Christy sudah siap dengan seragam sekolahannya lengkap dengan almamater. Gadis itu meraih gagang pintu kamar untuk melangkah keluar. Pundaknya terdapat tas selempang yang mengait, dan tangan kiri membincing sepatu putihnya.
Christy meletakan sepatunya di teras rumah lalu masuk kembali untuk mengambil kotak bekal yang sudah Bundanya siapkan di dapur.
"Hei, anak sial!"
Langkah Christy sontak terhenti saat melewati meja makan karena sahutan dari Ayahnya, Garland. Lelaki itu duduk di kursi meja makan yang berada di dapur.
Bukankah kalimat itu selalu dilontarkan oleh Garland, lantas mengapa ia harus sakit hati?
"Beri saya uang, sialan!"
Christy terdiam sejenak lalu menoleh ke arah Garland. "Aku belum gajian," jawab Christy singkat dengan nada dingin dan tanpa ekspresi.
Merasa kesal karena tidak diberi uang, Garland langsung mendekat pada Christy lalu mencengkram kasar kerah bajunya.
Bugh!
Satu pukulan keras Garland layangkan pada wajah Christy hingga gadis itu sempoyongan lalu terjerembab jatuh ke lantai. "ANAK TIDAK BERGUNA!" bentak Garland.
Christy sontak menggeleng sekilas untuk mengembalikan kesadarannya akibat pukulan dari sang Ayah. Kini sudut bibirnya sudah terdapat bintik-bintik memerah dengan darah kental dan sekelilingnya yang mulai membiru. Ia juga merasakan sakit dibagian pipinya yang terdapat luka sayatan sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Year : Survive at School
Akční[ On going ] "Kalian diperbolehkan untuk membunuh satu sama lain." "Saat di akhir, satu orang dari kalian akan menjadi MVP." • • • Bukankah sekolah tempat untuk menuntut ilmu? Bermain dan bersenang-senang bersama, dikalangan anak remaja? Bagaimana j...