TERUNGKAP

221 21 4
                                    

⟨ 17. TERUNGKAP ⟩

"Lo udah gila, Elsa!"

— happy reading —

"Selain karena Oma, apa alasan Papa memilih Kak Raya untuk dijodohkan dengan Alfan? Apakah karena Ayah Farhan memiliki utang kepada Papa dan akhirnya menggunakan Kak Raya sebagai ganti utang itu?" Alfan menatap sang Papa dengan tatapan penasaran untuk menanti jawaban.

"Tunggu ... utang apa yang kamu maksud, Al? Farhan tidak pernah berutang kepada Papa." Jawaban Papa Bima sontak membuat Alfan mengernyit bingung.

"Papa dengan Farhan adalah teman kuliah dulu, kami baru bertemu lagi saat reuni beberapa waktu lalu. Kami bercerita banyak hal, dari mulai pekerjaan sampai keluarga masing-masing. Lalu tiba-tiba Farhan berkata bahwa dia tengah mencari seseorang yang akan dinikahkan dengan putrinya, Raya istrimu itu. Katanya, dia tidak ingin kalau putrinya yang tinggal sendiri itu kenapa-kenapa, takut kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada Raya. Karena kebetulan Papa ingat kalau Oma kamu ingin melihat kamu menikah secepatnya, akhirnya Papa yang membuat rencana perjodohan di antara kalian. Farhan langsung setuju dan Papa pun juga langsung memberitahu kepada Mama dan Oma, kalau Papa sudah mendapatkan perempuan yang sekiranya nanti akan dijodohkan sama kamu. Kamu tahu, Al? Oma benar-benar semangat setelah mendengar kalau Papa mendapat perempuan yang akan dijodohkan sama kamu. Oma terjun langsung buat cari-cari latar belakang Raya tanpa sepengetahuan Mama sama Papa. Papa baru tahu itu satu minggu sebelum kalian dipertemukan," sambung Papa Bima menjelaskan alasan dibalik perjodohannya dengan Raya.

Alfan merasa seperti ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Jika memang bukan karena utang, lantas mengapa Raya mengatakan bahwa dirinya dinikahkan untuk melunasi utang Ayah Farhan? Ada apa ini sebenarnya?

"Kenapa, Al? Apa ada sesuatu yang mau kamu tanyakan lagi?" tanya Papa Bima saat melihat raut wajah Alfan yang seperti orang sedang berpikir keras.

Alfan menggelengkan kepalanya. "Enggak ada, Pa," jawabnya.

"Lalu kenapa kamu tiba-tiba kepikiran kalau Papa memilih Raya, karena Farhan ada utang kepada Papa?" Papa Bima ganti bertanya tentang ucapannya yang tadi.

"Ah, itu. Al cuma tiba-tiba kepikiran aja, karena biasanya di film-film, 'kan, begitu Pa." Alibi Alfan. Biarlah itu akan menjadi urusannya, Alfan akan mencari tahu kebenarannya nanti.

Papa Bima mengusap puncak kepalanya. "Kamu ini, kebanyakan nonton film. Lebih baik kamu sekarang temui istri kamu, sedih boleh tapi jangan sampai mengabaikan Raya. Raya juga pernah kehilangan neneknya, lalu sekarang Oma, walau baru bertemu tapi Raya pasti merasa de javu lagi setelah Oma meninggal," ujar Papa yang menasihati Alfan.

Alfan tiba-tiba tersentak. Benar juga. Seharian ini dia sedikit berjarak pada Raya dan beberapa keluarganya, karena kesedihan yang dia rasakan atas kepergian sang Oma. Padahal Raya juga pasti sedih karena pernah merasakan kehilangan sebelumnya.

"Papa pesan satu hal sama kamu. Kamu jaga dan sayangi Raya seperti kamu menjaga dan menyayangi Mama dan Oma, ya? Jangan buat dia sedih apalagi menangis karena kamu. Hati seorang perempuan itu sangat lembut, kesalahan kecil saja bisa menyakiti mereka. Walaupun kalian menikah karena dijodohkan, tapi Papa harap kalian akan bersama selamanya." Lagi, Papa Bima memberi Alfan sebuah nasihat.

Alfan tersenyum seraya mengangguk. Sedari dirinya masih kecil, Papanya selalu mengajarkan untuk selalu menjaga dan menghormati perempuan. Maka dari itu, Alfan selalu mengusahakan yang terbaik untuk sang Oma, Mama, dan sekarang Raya—istrinya. Semoga.

[ 09.04 am ]

Alfan menatap diam pantulan bulan di air kolam yang bersinar terang malam ini. Biasanya dia dan Oma akan melihat bulan bersama, tapi sekarang dia hanya sendirian. Oma tersayangnya sudah pergi lebih dulu menggapai bulan.

"Belum sehari Oma pergi, Al udah kangen aja," lirih Alfan dengan mata yang kembali berkaca-kaca.

Setelah dari ruang baca, Alfan mencari-cari keberadaan Raya yang ternyata tengah keluar bersama sepupunya ke minimarket. Jadilah sekarang Alfan berdiri menjulang di hadapan kolam, menatap pantulan bulan yang bersinar indah. Bulan itu seolah mendeskripsikan Oma tersayangnya tengah tersenyum karena kembali dipersatukan dengan Opa.

Hawa malam ini benar-benar dingin sekaligus menyejukkan. Alfan mengelus-elus lengannya dengan pelan. Di dalam masih banyak orang, termasuk keluarga besarnya yang beberapa akan menginap di rumahnya. Mama Cia tengah bersama mereka sembari mengenang sang Oma.

Pikiran Alfan saat ini tengah berkecamuk. Kepalanya seolah berisik bertanya-tanya, kenapa Raya mengatakan bahwa ia dinikahkan hanya untuk melunasi utang ayahnya? Papanya tidak mungkin berbohong, pun juga Raya. Lantas, apakah Ayah Farhan yang selama ini membohongi Raya?

Huft.

Alfan mengembuskan napas panjang dengan berat. Memikirkan hal itu membuatnya menjadi pusing. Dia pun duduk di kursi yang ada di dekat kolam. Kepalanya menelungkup di atas kedua lengannya, hati dan pikirannya tengah lelah hari ini. Kepergian Oma dan fakta terbaru yang baru ia temukan hari ini seolah sedang menghujam batinnya.

Disaat Alfan tengah sibuk berkelana dengan pikirannya, tiba-tiba dia merasakan sebuah pelukan dari belakang. Alfan tersenyum tipis dan menebak bahwa Raya mungkin sudah pulang. Namun ternyata dia salah.

"Kamu pasti sedih banget, ya, Al."

Itu bukan suara Raya. Dengan cepat Alfan melepaskan pelukan Elsa dari belakang. Kenapa perempuan itu masih ada di sini?

"Lo ngapain di sini, anjir?!" Alfan menggeram pelan seraya menatap ke dalam rumah, di mana keluarga besarnya tengah berkumpul di sana. Bagaimana jika mereka melihat tindakan Elsa tadi?

Sangat gila! Elsa benar-benar sudah gila!

"Aku mau hibur kamu, Al. Kamu pasti sedih banget karena Oma meninggal, aku cuma mau kamu nggak usah berlarut-larut dalam kesedihan kamu," ucap Elsa seolah tidak berbuat apa-apa. Menghiburnya tapi tidak dengan memeluknya juga, 'kan?

Alfan berusaha meredam emosinya. Malam ini pikirannya tengah berisik, ditambah kehadiran Elsa yang menurutnya itu sudah di luar batas.

"Terima kasih karena lo punya niat buat hibur gue, tapi itu bukan tugas lo, Sa! Dengan lo peluk gue kayak tadi, lo udah kelewatan. Bagaimana kalau keluarga gue lihat dan salah paham? Lo mikir nggak sih sebelum bertindak?!" tukas Alfan yang tidak habis pikir dengan Elsa.

Elsa tersenyum. "Ya biarin mereka lihat. Aku juga nggak peduli, aku cuma mau menemani kamu yang sedih. Memang bukan tugasku, tapi di mana Kak Raya? Seharusnya itu tugas dia, 'kan? Aku nggak salah dong gantikan tugas Kak Raya untuk menghibur kamu, disaat dia sendiri malah keluar dan meninggalkan kamu yang sedang berduka?" selorohnya yang semakin membuat Alfan naik pitam. Bagaimana bisa ada orang seperti Elsa?

"Lo udah gila, Elsa!"

Setelah mengatakan itu, Alfan langsung pergi masuk ke dalam. Dia tidak mau berlama-lama berurusan dengan Elsa yang pemikirannya sudah gila.

— to be continued —

Ruang terbuka untuk Elsa di bab ini wkwk😹

Ruang terbuka untuk Elsa di bab ini wkwk😹

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Estungkara dan Harsanya [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang