⟨ 16. BERDUKA ⟩
"Aku di sini, Al. Menangislah sepuas kamu, jangan ditahan lagi."
- happy reading -
Pepatah yang mengatakan 'people come and go' itu nyata. Tiap manusia yang datang di hidup kita, suatu saat juga pasti akan pergi meninggalkan kita. Manusia terlahir dari tanah dan akan kembali menyatu dengan tanah. Termasuk Oma.
Batu nisan bertuliskan nama Widyastuti Rachma itu terus dipandangi oleh Alfan dalam diam. Matanya bengkak dengan hidung yang merah, untungnya dia memakai kacamata hitam jadi tak terlalu kentara tatapan sedihnya itu. Berdiri memandangi gundukan tanah yang masih basah dengan perasaan yang amat kehilangan. Di bawah tanah itu, ada raga tanpa jiwa milik Oma.
Raya menatap Alfan yang diam sejak di pemakaman tadi. Dia tak bisa menghampiri Alfan, karena tengah merangkul tubuh lemah Mama Cia di sebelah batu nisan Oma. Ketika dia dan Alfan di taman tadi ditelpon oleh Mama Cia, Mama mengatakan bahwa Oma sudah berada di ambang hidup dan mati. Mama menyuruhnya untuk datang ke rumah karena Oma yang mencarinya.
Ketika mereka sampai, Alfan langsung menuju kamar Oma dengan mata yang berair. Hanya berbincang sebentar saja dengan Alfan, Oma langsung mengembuskan napas terakhirnya. Setelah itu, suara isak tangis menggema di seluruh rumah. Mama Cia bahkan sampai pingsan berkali-kali. Saking sayangnya Oma pada Alfan, beliau menunggunya datang sebelum menutup matanya selama-lamanya.
Pulang dari pemakaman, beberapa orang datang untuk berkabung. Bendera kuning sudah dipasang di dekat pagar rumah. Beberapa karangan bunga pun juga mulai berdatangan. Banyak orang yang datang untuk mengucapkan belasungkawa kepada keluarga Danuarta. Tak terkecuali keluarga Raya yang turut datang.
"Minum dulu, Mbak." Raya memberikan gelas air pada Mbak Ayu yang wajahnya memerah karena menangis. Mbak Ayu tidak ikut ke pemakaman karena tengah berbadan dua.
"Terima kasih, ya, Raya." Raya hanya mengangguk membalasnya.
Setelah itu, Raya menuju lantai dua di mana kamar Alfan berada. Setelah pulang dari pemakaman tadi, Alfan langsung menuju kamarnya dan tak keluar hingga sekarang. Ketika Raya membuka pintu kamar Alfan dan menyembulkan kepalanya ke dalam, dia bisa melihat sosok Alfan tengah duduk di lantai dan hanya bersandar pada ranjang. Dengan pelan Raya mendekati dan duduk di sampingnya.
"Al ...." Raya memegang bahu Alfan. Alfan yang tadinya tengah menelungkupkan kepalanya itu langsung menoleh. Raya tercekat saat melihat mata Alfan yang lebih merah dari tadi dengan jejak air mata di pipinya.
Tanpa kata, Alfan langsung menghambur ke pelukan Raya dan menangis dengan keras. Raya membiarkan suaminya itu menangis, karena dia tahu bahwa sejak tadi Alfan menahannya.
"Aku di sini, Al. Menangislah sepuas kamu, jangan ditahan lagi," ucap Raya pelan dan tanpa sadar air matanya ikut menetes, ketika mendengar tangis Alfan.
Untuk pertama kalinya, Raya mendengar suara memilukan dari Alfan. Mataharinya yang selama ini tertawa menghiburnya, kini tengah meraung keras di dalam pelukannya.
[ 02.39 pm ]
Alfan berduduk sila di lantai sembari memangku album foto masa kecilnya. Tahlil hari pertama Oma baru saja selesai. Alfan langsung menuju ruang baca begitu acara tahlil usai. Membuka album lama yang banyak foto dirinya bersama sang mendiang Oma.
Sesekali Alfan tertawa kecil ketika melihat beberapa foto yang membawanya ke ingatan masa lalu. Kejadian-kejadian lucu bersama keluarganya. Namun walaupun dia sedang tertawa, air mata turut menetes membasahi pipinya. Mengenang masa lalu bersama orang yang sudah meninggalkan kita itu menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Estungkara dan Harsanya [TAMAT]
Romance"Jangan ajari gue sabar. Gue dijodohin sama bocah ingusan yang belum tamat SMA." - Raya. "Bocah yang lo sebut ingusan itu juga bisa bikin bocah, lho, Kak." - Alfan. [ 08.14 pm ] Pertama kali dipublikasikan pada tanggal 15 Januari 2024 © Februari, 20...