PENOLAKAN

886 68 26
                                    

⟨ 1. PENOLAKAN ⟩
"Aku muak buat dituntut harus mengerti. Aku capek. Raya muak, Yah... Bu...."

- happy reading -

"Aku gak mau!"

Seorang gadis menolak dengan suara lantangnya. Wajahnya memerah, menandakan dia sedang menahan amarah.

"Kamu gak ada pilihan untuk menolak, Raya. Terimalah perjodohan ini," ujar seorang perempuan paruh baya. Beliau adalah ibu dari gadis itu, Raya.

"Aku gak mau, Bu! Kenapa harus aku? Aku masih dua puluh tahun dan masih kuliah. Kenapa enggak Elsa aja yang jelas seumuran sama dia?!" sergah Raya dengan menunjuk sang adik.

"Kamu masih bisa kuliah setelah menikah nanti, bahkan uang kuliah kamu pun akan ditanggung oleh keluarga calon suami kamu. Lagi pula, Elsa masih terlalu kecil untuk menikah, masa depan dia masih panjang," sahut seorang pria paruh baya. Beliau adalah ayah dari Raya, Farhan.

Raya tersenyum miring. "Jadi maksud Ayah, masa depan Elsa masih panjang sedangkan kalian bisa menentukan masa depan aku? Begitu?" tanyanya.

"Bukan begitu, Raya. Cobalah mengerti sedikit-"

"KURANG NGERTI GIMANA LAGI AKU?!"

Tumpah sudah amarah Raya. Napasnya memburu. Kilatan amarah tertera di bola matanya.

"Dari kecil, aku udah ngerti buat selalu ngalah dari Elsa. Mainan aku, kasih sayang kalian, bahkan baju kesayangan aku, aku kasih semuanya ke Elsa. Aku ngalah buat enggak sekolah di sekolah impian karena kondisi perekonomian keluarga, tapi saat Elsa bilang mau sekolah di sana kalian tanpa ba-bi-bu langsung daftarin dia di sana. Bahkan aku sampai ngalah tuker kamar sama Elsa dan tidur di kamar yang bekas gudang. Setelah semua itu, kalian masih bilang aku kurang ngerti?"

Napas Raya masih memburu, bahkan semakin membara ketika mengingat masa pahit itu.

"Kalian juga suruh aku buat tinggal sama Nenek, aku iyain gara-gara kalian takut enggak bisa menghidupi dua anak di dalam satu rumah. Aku diem aja ketika kalian stop kasih uang saku buat aku, aku juga diem saat kalian bilang gak punya uang buat bayar SPP aku. Tapi ketika Elsa yang minta uang, kalian selalu mengusahakan segala cara bahkan sampai ambil uang tabungan aku dari Nenek. Sekarang kalian masih bilang aku yang kurang ngerti? Maaf kalau kata-kataku ini menyinggung hati kalian, tapi kenapa kalian memilih untuk punya anak jika akhirnya kalian berlaku tidak adil dengan kedua anak kalian? Di pikiran kalian cuma ada Elsa, Elsa, dan Elsa! Kalian selalu berpikir, aku anak pertama yang sudah mandiri, yang enggak perlu dikasih arahan lagi karena kalian berpikir aku udah dewasa. Tapi kenyataannya... aku muak dengan kalian. Aku muak buat dituntut harus mengerti, tapi kalian selalu menutup pintu hati kalian untuk mengerti tentang aku. Aku capek. Raya muak, Yah... Bu...." Air mata Raya tumpah ruah membasahi pipinya.

"Buat kalian itu semua belum cukup, ya? Oke. Aku terima perjodohan itu. Lunasi hutang kalian dengan mengorbankan anak kalian. Raya pamit!" Dengan langkah yang yakin, Raya keluar dari rumah yang menjadi saksi bisu tumbuh kembangnya sejak masih bayi. Untuk apalagi dia di sana jika sudah diusir sejak usia 10 tahun?

Ya, itu bukanlah rumahnya lagi. Pada usianya yang ke-10, kedua orang tuanya meminta dirinya untuk tinggal bersama sang Nenek. Alasannya karena kedua orang tuanya takut tidak bisa menghidupi 2 anak dalam satu rumah. Raya yang masih lugu saat itu, hanya bisa menerima keadaan walau hati merasa tak adil.

Raya sudah hapal diluar kepala sifat kedua orang tuanya. Selalu menomorsatukan adiknya-Elsa, lalu mengorbankan dirinya dengan embel-embel anak pertama. Apakah semua anak pertama memang harus mendapat perlakuan seperti ini?

Raya butuh Nenek, batin Raya sendu.

Dalam keramaian sore hari dan derasnya hujan, Raya menangis sambil memeluk dirinya sendiri. Seandainya Neneknya masih ada, Raya akan pulang ke rumahnya dan memeluk sang Nenek. Namun takdir memang pelik, saat Raya akan naik ke jenjang SMP, Neneknya pergi meninggalkannya untuk selamanya. Sejak itulah Raya tinggal sendiri di rumah, rumahnya bersama sang Nenek.

[ 01.40 pm ]

"Dijodohin?"

Seorang anak laki-laki yang masih mengenakan seragam sekolah menyerukan hal yang baru saja dijelaskan oleh Ibunya.

"Mam, yang bener aja dong! Masa Al dijodohin, sih?" tolak anak laki-laki itu dengan wajah masamnya.

"Kapan Mama bercanda, sih, Al? Mama serius. Mama, Papa, dan Oma sudah mendiskusikan hal ini, kami sepakat untuk menjodohkan kamu dengan anak kolega kerja Papa," terang perempuan baya yang sedang menyeduh secangkir teh madu.

Anak laki-laki itu-Alfan berdecak. "Kalian pasti lagi nge-prank, nih. Tapi ulang tahun Al, 'kan, masih lama. Iya, 'kan? Kamera mana kamera?" tuturnya yang masih menganggap bahwa ucapan Ibunya itu hanyalah guyonan.

"Alfandi, Mama serius. Ini permintaan Oma kamu, lho. Masa kamu tolak?" tanya Ibunya Alfan dengan membawa-bawa Omanya.

"Tapi Al udah besar, Ma. Ini juga bukan zamannya Siti Nurbaya lagi, kenapa mesti ada jodoh-jodohan, sih? Al juga enggak bandel-bandel amat, Al masih nurut walau suka bohong dikit soal duit jajan, Al juga nurut waktu Mama suruh beli minyak di minimarket walau suka bilang sebentar-sebentar, dan Al juga gak pernah pulang malem kayak anak-anak di sinetron yang Mama tonton. Eh, pernah deh, sekali waktu nonton balap MotoGP di rumah Eka." Alfan terus berceloteh bak anak kecil yang sedang menjelaskan kegiatannya di sekolah.

Cia-Ibunya Alfan-mengembuskan napasnya panjang seraya menundukkan dan menggelengkan kepalanya. Anaknya jika di luar irit sekali untuk bicara, tapi jika sudah di rumah banyak berceloteh seperti anak kecil.

"Alfandi Harsa Danuarta. Oma ingin melihat kamu menikah sebelum jadwal operasinya. Kamu mau, ya, Nak?" pintanya dengan nada yang amat lembut.

"Tapi kenapa harus Al, sih, Mam? Kenapa gak Mas Abi aja?" tanya Alfan yang masih berat untuk menerima perjodohan itu.

"Ngawur! Mas kamu itu udah nikah, Al. Tinggal kamu cucu satu-satunya Oma yang belum menikah," ucap Cia yang akhirnya membuat Alfan mengembuskan napasnya panjang.

"Al... demi Oma, ya? Mama juga berat untuk menikahkan kamu disaat kamu belum lulus SMA. Tapi Mama juga gak bisa menolak permintaan Oma kamu, dia hanya ingin melihat cucu kesayangannya menikah sebelum operasi jantungnya dilakukan." Lanjut Cia seraya mengelus tangan Alfan.

Pada akhirnya, Alfan mengangguk. Melihat itu, Cia tersenyum dan kemudian memeluk putranya. Demi sang Oma yang sangat ia sayangi, Alfan akhirnya memilih untuk menerima perjodohan itu.

"Mama minta maaf karena udah egois," bisiknya di telinga Alfan. Alfan hanya bisa mengangguk pelan dan membalas pelukan Ibunya erat.

Semoga ini yang terbaik, batin Alfan.

- to be continued -

- to be continued -

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Estungkara dan Harsanya [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang