BAKSO

247 22 0
                                    

⟨ 15. BAKSO ⟩

“Ayo kita sama-sama berusaha untuk membangun rumah kita, Al.”

— happy reading —

"Pakde, bakso campur dua porsi, ya."

Alfan menyebutkan pesanannya kepada Pakde penjual bakso langganannya.

"Siap, Mas. Minumnya apa?" tanya si Pakde yang tengah sibuk membuat bakso.

"Teh hangat satu sama es jeruk satu. Saya duduk di sebelah sana, ya, Pakde." Alfan menunjuk tempat yang tak terlalu jauh dari gerobak baksonya, yang mana di sana sudah ada Raya yang duduk manis sembari menatapnya. Akan tetapi tak bertahan lama, baik Alfan dan Raya kemudian saling melempar pandangan.

Setelah Pakde mengangguk dan mengatakan akan mengantar pesanannya, Alfan pun segera menyusul Raya yang tengah memainkan kotak tisu. Suasana mendadak canggung tatkala Alfan sudah duduk di depan Raya. Bahkan Alfan yang biasanya selalu banyak bicara pun seolah ikut tutup mulut.

Pada siang hari ini, Alfan tiba-tiba mengajak Raya untuk makan bakso di tempat langganannya. Raya yang baru selesai menjemur itu pun langsung mengiyakan. Hari ini mereka sama-sama bangun kesiangan, ketika waktu telah menunjukkan pukul 7 pagi, keduanya baru bangun dari tidur yang nyenyak. Alasannya sudah pasti gara-gara semalam.

Semenjak dari bangun tidur, baik Raya maupun Alfan mendadak seperti orang linglung. Mereka saling menyibukkan diri masing-masing. Alfan yang memilih pergi keluar rumah, sedangkan Raya mencuci pakaian dan sprei kasurnya. Alfan baru kembali ketika Raya selesai menjemur pakaian dan sprei kasurnya.

"Emm ... K-kak Raya?" Alfan mulai bersuara. Karena sejujurnya dia sudah tidak betah berlama-lama diam dan bersikap seperti orang asing seperti sekarang.

"Ya?" sahut Raya dengan menatap Alfan. Dia berusaha mati-matian untuk mengesampingkan rasa malunya, yang sejak tadi pagi bersarang di hatinya.

"Soal semalam ...." Kalimat Alfan menggantung karena Pakde datang membawa pesanan keduanya.

"Makan dulu, ya, Al. Baru nanti kita bahas lagi," ujar Raya seraya memberikan senyuman tipis. Bukannya menghindar, hanya saja Raya masih belum siap untuk membahas soal yang semalam.

Alfan pun menurut dan akhirnya mereka memakan bakso dalam diam. Ketika Raya dan Alfan tengah lahap memakan bakso, pengunjung di sebelah menjadi atensi mereka berdua.

"Jangan kebanyakan sambelnya, Sayang. Nanti perut kamu kram, loh!" Suara pengunjung sebelah cukup keras sehingga membuat Raya dan Alfan menatap mereka.

"Bakso tanpa sambel itu nggak sedep, Mas!" sahut si perempuan yang tengah memegang mangkuk berisi sambal, namun tangannya dicegah oleh suaminya.

"Iya, aku tahu. Tapi kamu lagi hamil, Sayang!"

Mendengar kalimat itu, tiba-tiba secara bersamaan Raya dan Alfan saling berpandangan. Akan tetapi, lagi-lagi mereka memalingkan wajahnya masing-masing dan kembali menyantap bakso mereka. Selesai memakan bakso, keduanya pun pergi.

"Kita ke taman dulu, yuk, Kak! Di deket sini ada taman," ajak Alfan dan Raya langsung mengangguk menyetujui.

Raya paham betul bahwa sedari tadi Alfan ingin membicarakan soal semalam, pun juga Raya. Terbiasa hidup dengan segala celotehan Alfan membuat Raya merasa hampa, ketika hari ini Alfan juga sama-sama diam sepertinya. Sesampainya di taman, Alfan langsung menggandeng Raya menuju salah satu bangku di taman tersebut.

Sempat terjadi keheningan selama beberapa saat, namun akhirnya Raya yang sudah tidak betah itu pun langsung bersuara.

"Al ... tentang semalam, kita lupain aja."

Akibat kalimat yang diucapkan Raya itu membuat Alfan menoleh padanya seketika.

"Maksudnya, Kak?" tanya Alfan kebingungan. Setelah apa yang terjadi di antara mereka semalam, dia disuruh untuk melupakannya begitu saja?

Raya menggelengkan kepalanya seraya mengibaskan kedua tangannya. "M-maksud gue, lupain dan bersikap kayak biasanya aja. Yang kita lakukan semalam itu nggak salah kok, toh kita udah halal juga, 'kan? Jadi, daripada kita sama-sama diam gara-gara semalam, mending lupakan dan bersikap kayak biasanya aja," ujar Raya menjelaskan.

Alfan pun mengangguk paham. "Aku minta maaf, ya, Kak. Aku terbawa suasana semalam," katanya pelan.

Raya tersenyum manis sambil memegang tangan Alfan. "Jangan minta maaf, itu juga hak lo. Gue sendiri juga terbawa suasana semalam," balasnya.

Walaupun Raya sudah menyuruhnya untuk melupakan, tetap saja berduaan seperti ini membuat mereka canggung. Keheningan sempat terjadi beberapa saat di antara mereka. Akan tetapi, Alfan kembali bersuara sehingga membuat Raya mengalihkan atensinya padanya.

"Aku juga mau bilang, kalau ucapanku tentang perasaanku itu bener. Aku nggak main-main soal yang itu," ucap Alfan seraya menatap manik mata Raya dalam.

"Selama ini, aku tahu betul bagaimana Kak Raya yang masih menutup diri dari aku. Kakak masih ngerasa sungkan sama aku, padahal kalau Kakak mau, Kakak bisa cerita, mengeluh, dan saling berbagi suka duka ke aku. Aku nggak keberatan sama sekali, karena kunci sebuah hubungan itu saling terbuka dan saling percaya. Kakak sekarang enggak sendiri lagi, ada aku yang bersama Kakak. Kalau Kakak capek karena keseharian Kakak, Kakak bisa mengeluh ke aku. Kalau Kakak mau nangis, aku bisa peluk Kakak sampai Kakak tenang. Aku akan selalu ada setiap Kakak butuhkan, jadi jangan menutup diri lagi dari aku," sambung Alfan sembari menggenggam tangan Raya dan mengusapnya pelan.

Mata Raya berkaca-kaca setelah mendengar penuturan Alfan. Semenjak kehadiran Alfan di hidupnya, Raya menjadi pribadi yang mudah terbawa suasana. Alfan sangat pintar membuat hatinya merasa hangat dan merasa diayomi, dia benar-benar bisa memposisikan dirinya di tiap situasi. Jika sudah begini, Alfan tidak tampak seperti anak SMA yang sedang dipusingkan dengan ujian kelulusan. Alfan tampak seperti pria dewasa yang diidamkan banyak wanita sekarang.

"Lo—"

"Kamu. Coba sekarang Kakak ubah sebutannya pake aku kamu. Anggap aja sebagai langkah awal untuk pondasi rumah kita berdua, Kak," potong Alfan dengan diakhiri senyuman manisnya.

Walau masih kaku, tapi Raya pun menyetujui saran dari Alfan. "A-aku sangat berterima kasih sama k-kamu, karena kamu mau berusaha untuk selalu ada buat aku. Pun juga terima kasih karena kamu memberi warna dalam hidupku, yang selama ini cuma ada warna abu-abu. Mungkin saat ini, aku belum bisa bales perasaan kamu, tapi aku juga akan berusaha untuk menumbuhkan perasaanku ke kamu. Ayo kita sama-sama berusaha untuk membangun rumah kita, Al," balasnya dengan tersenyum lebar. Alfan yang mendengarnya pun tak kalah lebar senyumannya.

Alfan mengangguk. "Ayo kita bangun rumah kita bareng-bareng, Kak!" serunya yang kemudian memeluk Raya. Raya membalas pelukan itu dengan erat, sesekali juga mengusap punggung Alfan pelan.

Disela-sela mereka tengah bersuka cita, ponsel Alfan berdering. Panggilan dari Mama Cia yang langsung Alfan angkat.

'Halo, Ma?'

Alfan tersenyum menatap Raya, yang juga dibalas senyuman dari istrinya. Namun tiba-tiba dahinya mengernyit ketika mendengar suara Mamanya di seberang sana terdengar parau.

'Mam? Ada apa?' Alfan bertanya untuk memastikan keadaan Mamanya.

'Oma ....'

— to be continued —

— to be continued —

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Estungkara dan Harsanya [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang