KENANGAN

188 20 0
                                    

⟨ 24. KENANGAN ⟩

“Kalau Kakak sakit, aku juga sakit. Sebaliknya, kalau Kakak seneng, aku juga seneng. Jadi, jangan pendam semuanya sendiri lagi, ya?”

— happy reading —

"Mohon maaf, Bapak dan Ibu. Karena pendarahan yang terjadi pada Ibu Raya tadi, membuat janinnya tidak bisa bertahan. Saya turut berduka atas kehilangan calon anak dan cucu kalian."

Begitulah pernyataan dari dokter beberapa jam yang lalu. Kenyataan bahwa sekarang ia kehilangan calon bayi yang baru ia rasakan keberadaannya, membuat hati Raya benar-benar hancur. Baru beberapa hari lalu ia mengetahui bahwa tengah mengandung, secepat ini juga ia harus kehilangan bayinya. Jika saja dia bisa mengontrol dirinya, bayinya masih ada di dalam perutnya. Jika saja ....

Berbagai pernyataan menyalahkan dirinya sendiri terlintas di benaknya. Tangannya yang meraba perutnya, membuat air mata Raya kembali menetes.

Maaf. Maafin Ibu, batin Raya penuh penyesalan.

"Kak Raya," panggil Alfan seraya mengelus puncak kepala istrinya. Semenjak dokter menyatakan bahwa mereka kehilangan calon bayi mereka, Raya tak mengeluarkan suaranya lagi. Hal itu membuat Alfan semakin sedih.

Sebagai seorang Ayah, dia juga turut merasa kehilangan. Baru dia merasa bahagia bahwa sebentar lagi menjadi seorang Ayah, tiba-tiba rasa bahagia itu diganti dengan rasa luka atas kehilangan. Calon anaknya, yang selalu ia nantikan tiap hari, kini telah pergi sebelum melihat dunia dan orang tuanya.

Tidak. Alfan tidak boleh menangis. Saat ini Raya sedang membutuhkan dirinya. Dengan segera ia usap air matanya yang kembali keluar.

"Kak Raya, hei." Sekali lagi ia memanggil Raya sembari membalikkan tubuhnya. Dilihatnya bahwa Raya sedang menangis dan itu membuat hati Alfan terenyuh.

Alfan tersenyum sambil mengusap air mata Raya. "Jangan nyalahin diri Kakak sendiri. Mungkin bukan sekarang waktunya untuk kita bertemu dengan dia, Allah mengambilnya kembali karena ingin menguji kita. Allah ingin kita pacaran dulu lagi, dan di waktu yang tepat nanti, pasti kita akan bertemu dengan dia kembali, Kak," katanya agar Raya tak menyalahkan dirinya sendiri. Walaupun Raya tak mengatakannya secara gamblang, namun dari diamnya itu membuat Alfan tahu bahwa istrinya sedang menyalahkan dirinya sendiri atas kehilangan calon bayi mereka.

Raya langsung menghambur ke pelukan Alfan. "Maaf, maafin aku," lirihnya sendu.

Alfan mendekap Raya erat. Saling memberi kekuatan. "Not your fault, Kak Aya," sahutnya. "Nanti akan ada waktunya kita bisa bertemu dan mendekap dia, Kak. Sekarang waktunya kita pacaran dulu, kita punya waktu lebih banyak buat saling mengenal lagi," sambungnya.

Raya melepaskan pelukannya dan menatap Alfan dengan mata sembabnya. "Aku egois, ya? Aku terlalu larut dalam rasa kehilanganku sendiri, padahal kamu juga pasti ngerasa kehilangan, 'kan? Maaf," katanya.

Alfan kembali memeluk Raya. "Bohong rasanya kalau aku nggak ngerasain kehilangan, Kak. Aku juga sakit, tapi ngelihat Kakak yang diem aja dari tadi itu yang ngebuat aku lebih sakit. Kalau Kakak sakit, aku juga sakit. Sebaliknya, kalau Kakak seneng, aku juga seneng. Jadi, jangan pendam semuanya sendiri lagi, ya? Luapkan semua rasa sakit Kakak ke aku, aku bakal kasih bahuku sebagai sandaran Kakak. Oke?" Raya menganggukkan kepalanya dengan tersenyum getir.

Lihatlah, bahkan disaat seperti ini saja Alfan benar-benar terlihat lebih dewasa darinya. Pria yang dulu ia sebut bocah itu bisa menghibur hatinya dan menawarkan bahunya untuk ia sandari. Betapa beruntungnya ia mendapatkan suami seperti Alfan?

Estungkara dan Harsanya [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang