11 - Maaf

111 18 0
                                    

Park Chanyeol kembali ke vila sekitar dua jam kemudian. Ia pulang membawa dua paper bag yang langsung diberikannya pada Jongin dan Sehun. Dua lelaki yang lebih muda itu menatapnya dengan kerutan di dahi. "Aku merasa bersalah atas kejadian tadi pagi," jelasnya.

"Ah, Hyung, tidak perlu," tolak Sehun seraya menggeleng.

"Tidak apa-apa." Chanyeol meletakkan dua benda itu ke meja karena tidak ada yang mau menerimanya. "Buat aku tidur nyenyak malam ini. Oke?"

Sehun terpaksa menerima pemberian itu dengan berat hati. "Terima kasih," ucapnya sungguh-sungguh. Ia sama sekali tidak berharap akan mendapat ganti rugi, sebab sejak awal kotak lego yang ia beli tidak menggunakan uangnya sendiri.

"Sok banyak uang sekali," cibir Jongin sambil meraih paper bag miliknya. Meski mulutnya penuh cibiran, tetapi bola mata yang berbinar tak bisa berbohong. Ia menatap topi baseball hitam itu dengan takjub.

Chanyeol mendengkus geli. "Aku memang tidak punya banyak uang sepertimu, tapi aku tidak pernah lupa apa yang sejak dulu kuinginkan," sinisnya. Ia hendak bergabung duduk di sofa untuk menonton televisi ketika teringat dengan sesuatu yang ditemukannya di kap mobil. "Sebentar," ujarnya lalu buru-buru kembali ke garasi untuk mengambil sesuatu dari jok depan.

"Kotak baru?" Sehun mendelik saat melihat Chanyeol kembali membawa sebuah kotak kecil.

"Aku tidak menemukan rekaman apa-apa di black box. Sepertinya, si pengirim sengaja menghapus rekaman itu," kata Chanyeol sambil meletakkan kotak itu ke meja. Mereka duduk bersisian menatap kotak cokelat muda dengan serius. "Aku juga sudah mengecek ke CCTV swalayan, tapi hasilnya sama saja."

"Itu sebabnya kau keluar sangat lama?" tanya Jongin.

"Ya." Chanyeol mengangguk. "Kurasa, seseorang sengaja melenyapkan jejak."

Sehun mengusap dagu. "Direktur Yoon tidak punya banyak waktu untuk melakukan permainan seperti ini, kan?" tanyanya, menatap dua lelaki di sisi kanan-kirinya bergantian.

"Kita hanya tidak tahu apa yang benar-benar dia inginkan," kata Jongin seraya meraih kotak itu dan membukanya tergesa-gesa. Dahinya berkerut melihat tiga surat dengan amplop berbeda warna. "Bagaimana membedakannya?"

Chanyeol meraih satu amplop secara acak dan membukanya. Satu lembar surat berisi satu kalimat. "Sampai jumpa besok," ucapnya.

Jongin dan Sehun lekas membuka dua amplop yang tersisa dan menunjukkan kalimat serupa. Mereka kembali saling berpandangan, berusaha menangkap detail tersembunyi dari surat yang baru saja mereka terima. Namun, tak ada satu pun yang bisa menebaknya.

"Dia akan datang besok," kata Chanyeol penuh keyakinan.

"Atau kita akan berpapasan dengannya di jalan," sahut Sehun.

"Jika memang bukan Jina Nuna ...." Jongin menyandarkan punggung ke sofa dan pandangannya sedikit menerawang. "Pasti salah seorang di antara teman-temannya, kan? Maksudku, mereka sama-sama tahu kita adalah bagian dari Blue Sky."

"Siapa pun itu, kita akan mengetahuinya besok." Chanyeol meletakkan amplop miliknya ke dalam kotak. "Sebaiknya kita tidak menebak-nebak."

"Aku mau tidur saja." Sehun beranjak dari sofa. Ia meregangkan seluruh otot di tubuhnya. "Entah mengapa badanku jadi manja. Aku jadi mudah merasa lelah dan mengantuk," ujarnya.

Jongin mengangguk. "Kau sudah bekerja keras. Sudah hak tubuhmu untuk beristirahat sejenak," hiburnya.

"Tidurlah," timpal Chanyeol.

"Hmm. Selamat malam, Hyung," ucap Sehun dengan suara manis.

"Malam," sahut Chanyeol dan Jongin bersamaan.

Setelah Sehun masuk ke kamar dan menutup pintu, Jongin beranjak. "Kau mau bir?" tanyanya pada si lelaki tertua.

"Boleh."

Jongin mengambil beberapa kaleng bir dan membawanya ke ruang tengah. Televisi memutar film yang ia tonton secara acak bersama Sehun, tetapi kini ia sudah tidak tertarik untuk menontonnya lagi.

"Maaf."

"Huh?" Jongin mendelik saat Chanyeol tiba-tiba bersuara pelan.

Chanyeol menoleh ke kanan. "Maafkan aku," ucapnya lagi.

Kedua mata Jongin mengerjap. Ia belum membuka kaleng bir miliknya, sementara Chanyeol sudah meminumnya beberapa teguk.

"Yang aku katakan saat di rumah Sehun. Aku tidak bermaksud mengatakannya," terang Chanyeol.

"Oh."

Dahi Chanyeol berkerut saat menatap wajah Jongin.

"Aku tahu." Jongin mengangguk. Ia membalas tatapan Chanyeol dengan senyum tipis. "Kau hanya ingin melindungi keluarga Sehun. Aku tahu kau tidak bermaksud mengatakannya. Lagipula, ini bukan yang pertama kali, kan?"

Kepala Chanyeol tertunduk. Ia menghela napas pelan. Tanpa harus diberi tahu, ia sadar bahwa dirinya adalah pribadi yang dingin, keras, dan bermulut tajam. Cukup mengherankan apabila tiba-tiba ia bisa mempedulikan orang lain, bahkan meminta maaf dan menebus kesalahan lebih dulu.

"Sudahlah, Hyung." Jongin meraih satu kaleng bir baru dan membukanya untuk diberikan pada Chanyeol. "Aku sama sekali tidak mempermasalahkannya."

"Kau tahu ...." Chanyeol meneguk bir dingin itu lagi sebelum menatap Jongin dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aku kerap tidak bisa tidur tenang karena memikirkan ucapanku sendiri."

"Kalau begitu, cobalah untuk tidak mengatakan sesuatu yang bisa membuat orang lain tersinggung. Kalau kau lupa, ada pepatah yang bilang diam adalah emas," ujar Jongin. Ia sedikit menggeser tubuh ke sudut, lalu menepuk bantal sofa yang ia letakkan di sisi kiri. "Sini. Berbaring di sini."

Ucapan Jongin seperti mengandung mantra yang sanggup menyihir kepala batu Park Chanyeol. Lelaki tinggi itu segera meletakkan kaleng bir kosong ke meja, lalu merebahkan tubuh pelan-pelan di sofa, tepat di samping Jongin. Orang-orang mungkin akan menertawakannya, tetapi kali ini ia tidak akan peduli.

"Tidurlah." Jongin menepuk lembut bahu Chanyeol. Ia meraih remote control untuk mematikan televisi dan lampu utama. "Kita ke sini untuk berlibur. Jadi, jangan pikirkan apa pun masalahmu di Seoul. Itu yang aku dan Sehun lakukan. Kau juga harus melakukannya."

"Hmm."

Jongin tersenyum. Ia menyandarkan punggungnya dengan tenang tanpa melepas tangan dari bahu Chanyeol. "Hyung," panggilnya. Setelah beberapa detik tak ada respons, tetapi ia tahu Chanyeol mendengarkan dan lelaki itu belum tidur. "Bahkan jika kau memukulku, aku tidak akan menyalahkanmu. Jangan merasa bersalah pada apa yang kau ucapkan padaku. Aku pantas mendengarnya."

Chanyeol menyembunyikan wajahnya ke bantal sofa. Hatinya bagai ditusuk belati ketika terngiang ucapannya sendiri. Di hadapan orang lain, ia dikenal sebagai sosok lelaki yang dingin dan tak berperasaan. Padahal, itu semua hanyalah topeng yang ia pasang agar tidak terlihat lemah. Ia benci diremehkan dan dipandang sebelah mata. Selama menjalani kehidupan yang keras, ia berpikir bahwa lebih baik menyakiti daripada disakiti.

Hanya di hadapan Yoon Jina dan Kim Jongin, sosok Park Chanyeol tidak sekeras yang dilihat orang lain. Kepada dua orang itulah, Chanyeol berani menunjukkan sisi lain dirinya. Hati seorang anak yang tersakiti. Seorang manusia yang kerap tidak mendapatkan keadilan. Ia hanya berani menunjukkan sisi lemahnya di hadapan dua orang itu saja. Namun, sepertinya ada satu orang lagi yang akan melihatnya dari sisi yang berbeda.

Sosok kakak yang lembut dan pengertian. Orang itu adalah lelaki termuda yang mengetukkan jemari ke meja di dekat pintu kamar. Seorang lelaki yang memiliki senyum manis dan sedikit cerewet.

"Boleh aku bergabung?" pinta Sehun sambil mendekap bantal yang ia bawa dari kamar.

Jongin terkikik. "Sini," ujarnya sembari merentangkan tangan kanan.

Chanyeol refleks bergeser agar Jongin bisa membagi tubuhnya untuk dua orang. Ia di sisi kiri dan Sehun di sebelah kanan. Diam-diam ia tersenyum. Ia yakin malam ini bisa tidur nyenyak sebelum menghadapi kejutan esok hari.

Besok, teka-teki itu akan terjawab. Seseorang akan datang dan menunjukkan jati dirinya. Mereka bertiga akan segera tahu siapa dalang yang mengatur permainan kotak misterius.

Misterious Box (EXO-SKY) | TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang