14

47 8 0
                                    

Anton mengaku memahami betul keinginan Agnes namun dia tetap tidak ingin menyetujui semuanya. Dia terus bertanya-tanya. Apa yang kurang dari dirinya sebagai seorang ayah? Apa yang salah dengan langkahnya? Apa yang tidak dirinya berikan pada anak perempuan itu? Bahkan jika Agnes meminta seluruh dunianya, kekayaannya, perhatiannya, mainan yang begitu banyak, Anton akan berikan.

Allen Balorima bahkan tidak mendapatkan apa yang Levin Agnesia Balorima dapatkan karena setiap kali Anton mencoba untuk adil pasti ada saja halangannya seperti Agnes yang tiba-tiba terlihat seolah lebih membutuhkan. Padahal disini mereka bukanlah kakak dan adik melainkan saudara kembar, harusnya Anton bisa menyeimbangkan itu tapi kondisi Agnes terkadang menjadi lebih membutuhkan dibanding Allen. Seperti Agnes yang akan sakit jika keinginannya tidak terwujud. Jika sudah seperti itu mau tidak mau Allen harus mengurus dirinya sendiri, belajar peka terhadap keadaan yang menimpa sang ayah supaya tidak menjadi beban selanjutnya.

Terkadang Anton berpikir kenapa sifat dan sikap Allen tidak menular pada Agnes? Seperti halnya saudara yang tidak mau kalah dengan saudara lainnya. Ralat! Sebenarnya kejadian seperti itu pernah terjadi namun mereka melakukannya pada sesuatu yang tidak penting seperti berebut kehebatan. 

Jadi tidak berlebihan untuk Anton mengatakan jika anak laki-laki itu lebih patut diapresiasi. Mungkin jika semua orang mengetahui penilaiannya pasti dia akan dianggap pilih kasih.

Namun pada kenyataannya tidak peduli seberapa keras dia memikirkan solusinya, bahkan mencoba menjadi yang paling terbaik diantara yang baik, menyiapkan diri menjadi ibu dan ayah tanpa diminta, anak perempuan itu tetap saja mempertahankan egonya. Anton merasa seperti sedang memerangi diri sendiri, ini karena wajah si kembar lebih mirip dengannya dibanding dengan mendiang Amanda Evelyn.

Menarik nafas dalam-dalam pria itu mencoba meredakan amarahnya dengan mata yang sudah melirik ke sebuah papan nama restoran yang tertera di persimpangan jalan. Kemudian mulai mengikuti rute arah menuju tempat yang sudah dijanjikan. Mari hilangkan Agnes terlebih dahulu dari pikirannya karena itu hanya akan membuatnya pusing kepala. 

Begitu selesai memarkirkan mobil, Donzello Anton langsung masuk kedalam restoran dan duduk di salah satu meja yang sudah dipesan. Menarik nafas dan menghembuskannya, ia mencoba tenang dan berusaha bersikap baik-baik saja.   

Tangannya kemudian memainkan sebentar papan kotak kecil nomor mejanya yang menunjukkan angka 18, matanya melirik ke samping dengan perasaan menunggu.

Merasa masih memiliki sedikit waktu luang membuat Anton memutuskan bermain ponsel, dengan tidak minat tangannya membuka percakapan grup teman-teman jawa yang sudah di bisukan karena terlalu berisik.

Dari awal pembukaan saja sudah dapat dilihat jika grup di penuhi banyak orang-orang gila . Di grup itu, percakapan tidak penting jadi penting  sedangkan percakapan penting jadi tidak penting.

[Denger-denger bang Estu mau menyambut anak ke-tiga?] - Sofian.

[Iya] - Estu.

[Cepet banget] - Tara.

[Padahal baru  kemarin keluar anak kedua] - Sultan.

[Punya istri cantik dianggurin yang bener aje rugi dong] - Estu.

[Umur 30 g nikah-nikah sekalinya nikah baru 3 tahun udah mau punya anak 3 yang bener aje 😭] - Sigit.

[Aku yang udah 5 tahun baru punya anak 1 be like 😐] - Sultan.

[Cerai?] - Tara.

[Matamu] - Sultan.

[Buru-buru amat dahal odong-odong aja baru ngangkut 1 orang] - Sofian.

HARAPAN (ANTON RIIZE #01) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang