31

60 7 0
                                    

Ini menjadi hari kedua semenjak keluarga kecil mereka berpisah, Anton selalu menyalakan internet untuk memudahkan Dandi menghubunginya namun sampai hari ini tidak ada tanda-tanda datangnya kabar yang diinginkan. Padahal sudah menanti.

"Papa besok kerja yah?" Duduk berhadapan dengan sang ayah, Allen Balorima bertanya memastikan setelah menelan makanan di mulut.

"Iya."

Menarik nafas dalam, Allen menghembuskannya dengan ketara, mengundang perhatian Anton.

"Kenapa?"

Mereka sekarang tengah berada di sebuah restoran untuk makan siang. Seharian ini Allen nampak murung dan menjadi sosok pendiam jadi sebagai ayah yang baik, Donzello Anton memutuskan untuk membawanya keliling jakarta. Hingga akhirnya mereka berhenti di sebuah tempat makan untuk mengisi perut.

Seraya menjawab, mata Allen melirik lantai di sebelahnya dengan bibir cemberut. "Sendirian lagi."

"Enggak dong." Menyadari betul gelagat sedih anaknya, Anton langsung menyingkirkan ponsel dan fokus kepada Allen yang duduk di sebrang meja. "Kan banyak temen di sekolah."

"Pengen Age," Cicit Allen melepaskan alat makan dan beralih menempatkan dua tangannya di bawah meja.

"Age mah betah kayaknya di sana."

Allen melirik angkuh. "Tanpa papa?"

"Ya." Menganggukkan kepalanya pasti, Anton tersenyum kecil. "Tanpa papa."

"Kok bisa?"

Anton menaikkan dua bahunya secara bersamaan, tangannya kemudian mengarahkan pisau ke daging dan memotongnya saat itu juga.

"Gara-gara Kak Esa yah?"

Pergerakan tangan yang hendak menyuapi daging ke mulut itu tiba-tiba terhenti. Pikirannya teringat wajah Aesa.

'Aduh kenapa jadi keinget tuh anak si,' batin Anton menggeleng pelan sebelum akhirnya memasukkan daging ke dalam mulut dan menjawab acuh tak acuh. "Enggak tahu."

"Iya pasti." Allen mencoba meyakinkan sang ayah, wajahnya sekarang sudah benar-benar lurus melihat ke depan. "Age tuh sekarang sayang banget sama Kak Esa."

"Iya kali."

"Kok iya kali." Menyatukan alisnya, Allen terlihat tak percaya . "Emang papa enggak merhatiin Age?"

"Merhatiin... Papa merhatiin semua anak papa kok." Menjeda sejenak, Anton menjangkau gelas minumannya sendiri sambil melanjutkan. "Tapi kan papa bukan peramal, papa bukan tuhan yang bisa tahu isi kepala Age... Kayak Ale aja, kalo Ale enggak ngomong ke papa tentang pikiran Ale, papa mana bisa tahu."

"Emangnya Age enggak pernah cerita apa-apa ke papa?" Tanya Allen yang langsung membuat Anton menggeleng. "Kok Age jadi gitu si? Age kayak bukan Age."

Sepulangnya dari perjalanan keliling jakarta, Anton menempatkan Allen yang sudah tertidur pulas di kamar anak itu sendiri.

Ia memiliki banyak waktu luang untuk seorang diri, apalagi di hari libur, jadi kegiatannya tidak begitu banyak. Untuk menghabiskan waktu luang itu dia memilih memainkan sebuah game online di ponselnya sendiri. Suasana hatinya juga sedang tidak baik.

Namun belum sempat masuk ke dalam permainan, tiba-tiba dia dihubungi nomor ibunya. Yang membuatnya langsung memutuskan meninggalkan permainan dan memilih  mendengarkan ibunya di sebrang telepon.

"Anton... Anak kamu ini kenapa si?  Sifatnya apa emang udah kayak gini dari orok?"

"Kenapa?"

"Masa nangisin Aesa yang lagi lamaran."

"Lamaran?" Mengerutkan alisnya, Anton bertanya memastikan dengan tubuh yang tiba-tiba duduk tegak. "Lamaran sama siapa?"

HARAPAN (ANTON RIIZE #01) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang