33

70 11 6
                                    

"KAMU GILA YA!"

"Kan mama yang nyuruh—" Celetuk Anton tidak serius dengan tampang cemberut.

"Heh!" Mendekati gorden kamar, Susi berdiri di depan anaknya. "Yang waktu itu tuh mama cuman bercanda, kenapa kamu seriusin?"

"Makannya enggak usah bercanda yang enggak-enggak  ." Ketus Anton mendengus kesal. "Giliran di seriusin malah panik."

"Emangnya dari tadi kamu ngapain kalo bukan panik? Mama panik ya karena kamu panik." Sambil berkacak pinggang, ia terus mengoceh dan terus memarahi putranya. "Emang kamu enggak bisa bedain? Mana serius mana bercanda? Hidup doang lama sama mama tapi enggak ngerti-ngerti."

"Udah lama enggak hidup sama mama kan."

"Jawab terus jawab."

Panas mendengar ocehan penuh amarah itu, Anton lanjut mengacak-ngacak rambutnya sendiri. Tidak tahu harus berbuat apa selain melampiaskan kekesalannya.

Melihat anaknya terlihat begitu frustasi membuat Susi terpaksa menenangkan diri, sekarang juga tengan bulan ramadhan dimana mereka tengah berpuasa jadi sangat disayangkan jika terus emosi seperti tadi.

"Udah." Susi menyentuh tangan anaknya dan memisahkannya dari rambut dengan lembut. "Enggak baik ngacak-ngacak rambut kayak gitu, nanti rontok jadi botak."

Mendapatkan perlakuan lembut secara tiba-tiba membuat Anton menjadi malu. Harusnya di umurnya yang sekarang dia bisa membedakan mana kelakuan yang pantas dilakukan mana yang tidak.

Melihat putranya sudah kembali tenang, Susi mulai bertanya secara baik-baik. "Kamu ngajak Aesa nikah ... terus Aesa nya mau?"

"Pikir-pikir dulu katanya."

Seolah tidak yakin dengan situasi yang terjadi, Susi kembali bertanya memastikan, "Kamu bener-bener udah ngomong ke Aesa?"

"Iya."

Memejamkan mata, Susi menarik nafas dalam dan menghembuskannya. Ini bukan kebohongan. "Mama si enggak habis pikir . " Ia melangkah dan berbalik, lalu duduk di sebelah Anton. "Pas ngajak nikah itu kamu ngasih sesuatu enggak?"

"Enggak ... kan baru ngajak doang."

"Kamu tarik omongan kamu bisa?"

"Maksudnya?"

"Bilang ke Aesa kalo kamu enggak serius."

Terkejut dengan saran ibunya, Anton mengerjapkan matanya polos. Tidak percaya ibunya akan menyarankan saran seperti itu kepadanya. "Beneran?" Terlebih posisi Aesa termasuk sangat dekat.

"Enggak."

Justru dialah yang keberatan di sini, jika dibatalkan lalu kedepannya bagaimana cara dia bertemu dengan Aesa lagi? "Ih! Kamu si!" Kesalnya kembali emosi sambil mendorong bahu putranya. "Mama enggak enak sama Aesa tahu, dia temen baik mama . Udah jadi orang tua bukannya berubah malah makin-makin ."

Kembali mendapatkan perlakuan kasar membuat Anton kembali cemberut. "Ya maaf."

"Emang kamu suka apanya si dari Aesa?"

"Boro-boro suka tahu aja enggak. "

"Oiya yah kamu kan enggak deket sama Aesa yah." Susi berpikir sejenak. "Lah terus kamu ngajak nikah maksudnya apa?"

"Enggak tahu, Anton, juga..."

"Enggak jelas banget si kamu jadi orang." Susi mendengus kesal dan beralih menatap lantai dengan tajam sambil merenung. Aesa bukanlah gadis buruk justru gadis paling baik yang pernah dia temui. Rasanya tidak rela jika gadis itu harus menikah dengan anaknya yang sudah pernah berkeluarga. Dia memiliki ketakutan tersendiri di dalam hatinya, menghawatirkan Aesa dan juga putranya.

HARAPAN (ANTON RIIZE #01) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang