32

64 11 2
                                    

"Age! Main yuk!" Salah satu gadis cilik dari segerombolan anak-anak yang tengah bermain di depan rumah Aesa  memanggil dan mengajak bermain Agnes begitu melihat kedatangannya. 

Membuat penghuni rumah ikut melongok ke depan dan berakhir ikut keluar juga berdiri di teras.  "Age nya lagi sakit."

"Sakit apa?"

"Pusing, batuk, flu, banyak." Dari ekor mata, sosok Agnes tiba-tiba melewatinya.  "Eh mau kemana?"

"Mau lihat doang kok." Tubuhnya membelakangi pilar dan merosot disana, berakhir duduk sendirian. "Di sini."

"Kirain mau turun." 

"Enggak." 

Kaki panjang Anton kemudian berdiri tak jauh dari pilar.  "Ayo pulang,"

Masih mendengarkan ajakan pulang ketika dirinya sudah jelas-jelas menolak dengan duduk di teras  membuat Agnes menggeleng kencang, matanya terus melihat ke depan. Kepalanya pusing mendengarkan ajakan yang sama berulang kali, membuatnya tambah tidak bersemangat.

Ia betah bersama Aesa dan para tetangganya. Di sini anak-anak kerap kali bermain bergerombol, tidak seperti di bawah yang hanya menggunakan sarana rumah masing-masing sebagai arena bermain, tidak jauh berbeda seperti di Jakarta jadi rasanya seperti tidak memiliki teman.

"Kenapa?" Anton masih tidak sadar.

"Masih mau di sini." Menjeda sejenak, Agnes batuk. "Lihat itu."

"Ini udah—"

Belum sempat menyelesaikan perkataannya, Agnes tiba-tiba berdecak kesal, membuatnya berpikir dan tersadar. Jika di paksa pasti akan menangis dan itu hanya akan membesarkan rasa pusing jadi sebagai ayah yang baik Anton akan mengalah. Dia akan membiarkan barang sejenak sampai tiba waktunya untuk tidur siang.

Tidak mendapatkan balasan apapun lagi membuat Agnes berpikir jika keputusannya berhasil, buktinya sang ayah berhenti bicara. Ia akan terus mengulur waktu dengan mengamati anak-anak di depan sampai bosan.

Bertepatan dengan itu sebuah tangan cantik  tiba-tiba menyelipkan kain selendang di bawah bokong anak kecil, memberikan alas duduk. Bagaimanapun juga lantai keramik sangat dingin untuk orang-orang sakit jadi tanpa diminta Aesa segera mengambil selendang dari dalam dan meletakkannya di sana dengan penuh perhatian .

"Makasih." Menoleh sekilas ke belakang untuk menunjukkan senyuman hangat, Agnes memberikan ucapan saat mata mereka bertemu.

"Sama-sama."  

Hanya dalam waktu 37 hari ia sudah nyaman dan  terbiasa dengan perlakuan hangat Aesa. Pada awalnya dia terkejut dan tidak percaya jika orang lain selain pengasuhnya akan memperlakukannya seperti demikian rupa baiknya tanpa diminta oleh sang ayah atau sebagainya.

Berbeda dengan Agnes, Anton justru terkejut. Apakah ini semacam tipuan? Tipuan untuk membuat anaknya tetap nyaman di sini. Dia cukup meremehkan, mungkin kalau Agnes pergi atau dirinya tidak ada di sana Aesa akan kembali pada setelan gadis super cuek dengan wajah dingin. Selama ini jarang ada perempuan asing yang memperlakukan anaknya dengan hangat seperti itu, kecuali para pengasuh yang dipekerjakannya. Sudah pasti ini tipuan yang telah membuat Agnes terpikat, benar-benar pintar memainkan peran.

'Jahat banget pikiran gue,' batin Anton sadar dari pikirannya sendiri.

Tidak pantas baginya atau siapa pun berpikir buruk tentang orang lain, jadi dia memutuskan untuk membuang pikiran jahatnya jauh-jauh. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan untuk menenangkan pikiran, yang rupanya menarik perhatian Aesa sehingga sekarang tatapannya terkunci.

HARAPAN (ANTON RIIZE #01) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang