25

104 6 2
                                    

"Kowe arane sapa?"

(Kamu namanya siapa?)

Tidak mengerti apa yang dipertanyakan,  alis Agnes mengkerut dalam. "Ngomong apaan si? Age enggak ngerti."

Tanpa disadari nada balasan itu menghujam di hati anak yang bertanya  sehingga kini sosoknya menjauh dan memilih bergabung dengan kelompok teman lain.

Jujur saja semenjak sampai di rumah ini kendala bahasa terus menyusahkannya sampai pada tahap risih. Tidak bisakah anak-anak ini menggunakan bahasa yang sama dengannya? Ini Indonesia jadi harus menggunakan bahasa Indonesia bukan? Selama dirumah neneknya, bahasa yang digunakan masih sama namun ketika sampai di sini bahasa mulai bercampur dengan bahasa Jawa yang susah dimengerti. Ini dimulai dari logat Marwah yang kaku  diikuti beberapa orang lainnya.

"Age orang Jakarta yah?" Anak laki-laki bernama Zaki bertanya memastikan kepada  seorang kembaran perempuan di teras rumah Estu Panjiwilayang.

"Iya, kenapa?" Tanya Agnes dengan alis yang masih bertemu. Perasaannya waspada, takut dibuat bingung lagi dengan bahasa mereka.

Nada bicara itu masih terdengar kasar bagi logat daerah ini namun Zaki tidak pantang menyerah. Alih-alih pergi seperti anak sebelumnya, tangannya sekarang  menunjukkan sebuah mainan kayu yang berbentuk mirip seperti biji pohon ek.  "... Age pernah mainan ini enggak?"

Masih bertanya kepada anak yang sama, anak itu berharap pertanyaannya kali ini akan direspon dengan lebih baik lagi, namun tidak disangka-sangka pengenalannya mengenai mainan gasing kayu malah menarik perhatian Allen daripada Agnes.

"Itu apaan?" Tanya Allen penasaran begitu menjauhkan diri dari teman-teman yang tengah bermain monopoli.

"Gasing."

Bahasa yang digunakan sudah benar namun tetap saja logatnya masih sama seperti Marwah tadi, kaku dan medok.  Tapi ini lebih baik daripada tidak bisa sama sekali. Agnes tersenyum kecil sebagai bentuk apresiasi.

"Kok kayu?" Tanya Allen lagi.

Melilit tali ke leher gasing, Zaki berjongkok di depan Allen yang juga ikut berjongkok mengikutinya. "Emang kayu... namanya aja gasing kayu. Kalo mau yang bukan kayu ada, tapi itu di sekolah belinya."

"Kalo ini belinya dimana?" Jari telunjuk Allen menyentuh badan gasing yang di cat hijau.

"Ini dibikinin Mbah Panji."

"Oh..." Manggut-manggut paham, Allen menarik jari telunjuknya untuk memberikan kesempatan Zaki  memainkan gasing tersebut.

Begitu mengayunkan gasing ke lantai dan melepaskannya dari tali, gasing kini berputar-putar di bawah mereka. Mata  cerah Allen terbelalak berbinar sampai berdecak kagum. "Keren."

"Iyalah." Menyentuh ujung hidungnya sendiri dengan bangga, ia menambahkan, "Zaki, gitu lho."

Tersenyum lebar, mata Allen tidak lepas dari pemandangan gasing kayu yang bermain di depannya. Ini benar-benar menakjubkan. Dia ingin mencobanya. "Coba dong, boleh enggak?"

"Emang bisa?"

"Bisa." Saat Zaki sudah memberikan gasing kepadanya, saat itulah Allen berkata jujur, "Sebenarnya enggak bisa si, tapi Zaki mau ngajarin enggak?"

"Mau."

Pemandangan akrab antara dua anak laki-laki itu Agnes amati dengan wajah angkuh. Terkadang jika dalam kebingungan seperti ini wajahnya tanpa sadar akan memasang ekpresi bermusuhan, padahal pikirannya tengah sibuk berpikir mengenai kendala bahasa yang menimpanya. Jika terus seperti ini maka liburannya akan menjadi sia-sia, ia juga menginginkan seorang teman.

HARAPAN (ANTON RIIZE #01) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang