"Balik ke Jakarta nya kapan?" Eko bertanya begitu menghembuskan asap rokok ke udara, sedangkan sosok Tikno tengah menjentikkan rokok di abstrak tempat limbah abu.
"Besok," Jawab Anton meletakkan ponsel di atas meja di depannya begitu selesai membalas pesan Sofin yang mengajaknya berkumpul. Bersama ayah dan ayah mertua, ia memutuskan untuk berkumpul melakukan obrolan ringan setelah menjadi satu keluarga.
"Nanti kalo udah sampe sana ... Jangan lupa ngajakin Aesa jalan-jalan keliling Jakarta yah?"
"Lho? Emang Aesa belom pernah keliling Jakarta?" Tanya Tikno cukup kaget mendengarnya. "Bukannya sempet merantau yah?"
"Merantau nya kan bukan di Jakarta jadi enggak keliling Jakarta."
"Tapi kan bisa main-main ke sana ... Banyak kok anak-anak dari luar kota yang main ke Jakarta." Tikno mengatur posisi duduknya menghadap Eko yang salah satu kakinya sudah terangkat di atas sofa.
Anton mengamati kedekatan dua pria paruh baya di hadapannya, keduanya tampak akrab. Sejak berinteraksi bersama, ia menyadari bahwa mertuanya memang orang yang mudah bergaul sedangkan ayahnya sendiri merupakan orang yang senang diajak mengobrol santai.
"Aesa mana pernah main... Anaknya dirumah mulu—di kost mulu dia mah." Eko menerawang udara. "Hidupnya cuman kerja, kerja, kerja kalo waktu libur ya buat tidur, emang anaknya males keluar aja."
"Tapi suka main ke rumah Mas Estu." Anton membuka suara.
"Ke rumah Estu doang... Itu juga ada Dina jadi mau-mau aja kesana." Eko berdeham dan menambahkan, "Anaknya enggak suka macem-macem ... makannya bapak bingung pas rumah kedatengan cewek yang ngelabrak Aesa waktu itu."
Bagi Tikno, berkumpul bersama orang yang menganggapnya setara selayaknya manusia biasa itu lebih menyenangkan daripada berkumpul bersama orang-orang yang gila hormat. Ia sendiri terkejut saat mengetahui umur Eko yang ternyata seumuran dengannya. Siapa sangka pria tua ini rupanya merupakan ayah dari gadis muda berusia 23 tahun.
"Eh, Ko ." Panggilnya tiba-tiba yang mengalihkan perhatian anak dan besannya. "Anak kalian cuman dua doang kan yak? Adam sama Aesa?"
"Iya."
"Jarak umurnya berapa tuh mereka berdua?"
"Enam tahun."
"Lah? Masih tuaan Anton."
"Emang."
"Kamu sama Rasmi nikah umur berapa si? Kok anaknya masih muda-muda banget."
"Jalan kepala empat kalo enggak salah."
"Beneran?"
"Iya." Eko tertawa melihat 2 lawan bicaranya itu. "Dulu tuh Rasmi perawan tua ... Sama kayak aku juga bujangan tua. Dulu tuh inget banget tiap hari dengerin berita di radio, banyak kasus pembunuhan yang latarnya itu perselingkuhan."
"Itukan orang lain, Ko..." Tikno tertawa sambil geleng-geleng kepala tak percaya.
"Ya tahu... Tapi kan yang namanya musibah enggak ada yang tahu—iya enggak Ton?" Eko tiba-tiba beralih bertanya kepada Anton yang langsung di balas dengan cengiran konyol.
"Terus ketemu Rasmi dimana?"
"Di pasar ... Pas itu kalo enggak salah lagi nungguin sepatu di tempat sol sepatu gitu terus si Rasmi lagi servis jam di sebelah." Eko teringat saat dirinya menunggu sol sepatunya selesai sambil mendengar percakapan seputar pernikahan yang dilakukan mendiang ibu mertuanya bersama tukang servis jam di tahun 80 an.
"Kata mama nya Rasmi, Rasmi tuh udah tua tapi enggak mau nikah-nikah—tapi diomongin kayak gitu anaknya diem aja enggak nge gubris. Dari situ aku mikir kayaknya nih anak pemalu, terus juga nurut sama orang tua. Di usianya yang bukan anak remaja lagi kalo bepergian selalu sama ibunya jadi kayak... Ini mungkin pantes lah kalo dijadiin istri. Aku minta ke orang tua aku sendiri buat nyariin Rasmi yang rambut pendek soalnya pas itu si Rasmi emang rambutnya pendek."
KAMU SEDANG MEMBACA
HARAPAN (ANTON RIIZE #01)
FanfictionMenceritakan tentang keluarga kecil Donzello Anton seorang duda beranak 2 kembar laki-laki dan perempuan yang mengharapkan sosok ibu untuk melengkapi keluarga mereka agar terlihat seperti keluarga pada umumnya. ____________ PROJECT NASI no. 1 OT7