Seorang putri nampak duduk termenung di tepian sungai kecil. Peluh masih nampak menggenang di beberapa titik wajahnya. Kegiatan menanam sayuran tadi cukup membuat Terfa merasakan kelelahan, namun dia juga sangat menikmatinya.
Suara gemericik air di sungai ini membuat Terfa merasakan ketenangan. Perlahan pikirannya melayang pada hal-hal yang telah dia lalui.
Kejadian besar satu tahun lalu benar-benar membuat Pijakan Filo dalam kondisi yang hancur. Beruntungnya tak begitu banyak korban jiwa karena pelindung yang diciptakan oleh permata Sil dan Eda.
Belakangan bahu membahu orang-orang mulai memulihkan kondisi pasca kerusakan. Para petani mulai kembali menamam bibit yang selamat di lumbung-lumbung. Para ilmuan beserta relawan juga bahu membahu menjernihkan air yang sempat tercemar.
Sampai saat ini teknologi belum benar-benar pulih, hal itu membuat hewan-hewan kaki empat kembali diberdayakan untuk membantu transportasi. Meskipun kekacauan yang terjadi begitu mengerikan, masyarakat Pijakan Filo menjadi lebih kompak karena hal itu.
“Sepertinya aku harus benar-benar berangkat secepatnya. Aku tak ingin orang-orang Pijakan Rizo mengira bahwa aku ingkat janji” Gumam Terfa dengan nada yang terdengar begitu pasrah.
Keserakahan ayahnya yang membuka portal ke Kerajaan Rizo membawa petaka tambahan yang memperkeruh suasana satu tahun lalu. Saat itu ayahnya mengira bahwa Kerajaan Rizo akan berpihak padanya, namun ternyata menjadi bumerang tersendiri.
Hal itu berakhir pada keputusan bahwa Terfa akan dijadikan pelayan seumur hidup bagi Raja Izzel sebagai satu jalan penebusan dosa ayahnya. Itu hukuman yang cukup berat menurut Terfa, hal terberatnya adalah kenyataan bahwa mungkin dia tak bisa kembali lagi ke Pijakan Filo.
“Terfa!” Teriak seseorang berhasil membuyarkan lamunannya.
Terfa menengokan kepalanya ke arah belakang. Matanya dapat menangkap sosok Teilan yang sedang berjalan cepat di penyekat antar ladang sayur. Sepupunya yang dua tahun lebih muda itu nampak menggemaskan. Sayangnya gadis itu lebih suka menggunakan dress dengan warna gelap, padahal dia akan lebih manis dengan dress berwarna cerah. Perihal itu sepertinya Terfa perlu menyalahkan Lie dan Eil yang sedari kedatangan Tei mereka sudah mecocoki sepupunya dengan pakaian gelap.
“Huh! Ternyata kau disini. Aku mencarimu dari tadi!” Ujar Tei dengan nada yang nampak sedikit kesal.
Tei kemudian duduk di batu sebelah Terfa.
“Maafkan aku Tei, tadi aku tiba-tiba menghilang ya” Jawab Terfa yang merasa bersalah karena tak kunjung kembali hingga Tei mencarinya.
Tei mengibas-ngibaskan tangannya tanda bahwa Terfa tak perlu ambil pusing “Tenang saja, itu tak masalah. Aku kemari karena ingin menyampaikan sesuatu padamu.”
Kening Terfa mengernyit saat mendengar perkataan Tei “Apa itu hal penting?”
“Iya” Tei mengangguk yakin.
“Tentang Pijakan Rizo” Tambah Tei.
Terfa membenahi posisinya “Katakanlah, apa yang ingin kau diskusikan.”
"Satu minggu lagi mereka akan menjemputmu. Sungguh, Aku, Zare, dan Qian merasa sangat keberatan. Rencananya aku sendiri yang akan menemui kerajaan Rizo untuk melakukan negosiasi" Jelas Tei yang membuat Terfa semakin merasa tak nyaman.
Terfa merasa bahwa Tei terlalu baik pada dirinya dan keluarganya.
“Kau tak perlu melakukan itu Tei. Besok aku yang akan pergi kesana."
"Tap-" Kalimat Tei kembali terpotong.
"Aku tak menerima penolakan Tei. Jangan buat aku jadi lebih merasa bersalah dan tak nyaman." Tukas Terfa yang kemudian bangkit dari duduknya, dia berjalan meninggalkan Teilan.
Teilan hanya mampu menghela napas dan mencoba menerima keputusan Terfa.
***
Hari yang dikhawatirkan para keturunan pemilik permata apedasil telah tiba. Saat ini Teilan, Zare, Qian, dan Terfa telah berkumpul di bukit Hutan Togara untuk membuka Portal ke Pijakan Rizo.
"Kau benar-benar siap?" Tanya Qian memastikan.
Terfa mengangguk dan tersenyum seolah meyakinkan bahwa dirinya telah benar-benar siap.
"Hati-hatilah disana" Ujar Tei sembari mendekap Terfa dalam pelukannya. Gadis permilik permata sil itu mulai terisak.
Terfa mecoba menghibur suasana hati sepupunya yang cengeng "Sudahlah Tei, aku akan baik-baik saja" Balasnya sembari mengelus punggung Tei.
Para sepupu itu bergantian saling memeluk satu sama lain. Setelah semua merasa siap akhirnya Teilan memimpin untuk membuka portal dengan permatanya, permata Sil.
Terfa berjalan segera menuju portal yang terbuka. Sebelum benar-benar masuk dia sempat melambaikan tangannya dan tersenyum semanis yang dia bisa.
Setelah pusaran lubang terbuka sempurna, Terfa kemudian masuk. Saat lubang portal mulai tertutup, dia merasakan tubuhnya bergerak maju dalam lorong dimensi. Tak begitu lama, akhirnya Terfa melihat portal untuk keluar.
Terfa keluar dan sampai di sebuah hutan, disana nampak beberapa orang telah menunggunya.
"Bagus, kau tak mengingkari janjimu nona" Sebuah sambutan yang kurang nyaman menurut Terfa.
Matanya mulai memindai sekitar, disana terdapat lima orang yang menjemputnya. Mereka berpakaian seragam kecuali satu orang yang berdiri di tengah, lebih tepatnya orang yang tadi menyambut Terfa.
"Tentu tuan, janji adalah hal yang wajib saya penuhi" Tutur Terfa sembari membungkukan badannya.
"Tuan?" Mata laki-laki itu memicing, membuat Terfa sedikit kawatir jika salah berucap.
"Eh? Apakah saya salah berkata pada anda tuan jendral?" Terfa memastikan. Dia benar-benar tak ingin langsung mati disaat dirinya baru saja sampai.
Bukannya menjawab, orang itu malah berbalik pergi. Tentu saja Terfa juga terburu-buru mengekori mereka. Dirinya merutuk dalam hati saat langkah orang-orang di depannya ini begitu cepat. Bagaimanapun Terfa seorang putri yang terbiasa berjalan dengan anggun dan tak terlalu terburu-buru, nampaknya dia harus segera menyesuaikan dan menghadapi kenyataan bahwa dia akan menjadi pelayan.
"Apakah masih lama?" Bisik Terfa pada seorag pengawal yang baru saja berhasil dia susul langkahnya.
"Sebentar lagi" Jawabnya dengan suara tak kalah pelan.
Beberapa waktu kemudian, Terfa benar-benar merutuki pengawal yang mengatakan 'sebentar lagi' karena nyatanya saat langit mulai berubah warna pun mereka belum sampai. Sungguh Terfa merasa kakinya seperti mau patah.
'Apakah mereka tak memiliki kendaraan apapun hingga harus berjalan kaki seperti ini?' Suara batin Terfa yang mulai merasa nelangsa.
"Terfa!" Teriak sang Jendral membuat Terfa menegakkan tubuhnya.
"Iya tuan!" Jawabnya segera.
"Kau akan diantar salah satu pengawal ke tempat pelayan, disana kau akan mendapatkan pengarahan lebih lanjut." Jelasnya dengan nada yang begitu datar hingga menimbulkan sensasi dingin.
Terfa hanya mengangguk dengan patuh, kemudian seorang pengawal membawanya ke jalan yang berbeda.
"Kita sudah sampai di pintu belakang istana nona" Ujar seorang penjaga.
Mata Terfa mulai memindai istana di hadapannya ini. Menurutnya ini lebih luas dari istana pusat di Pijakan Filo, sayangnya warna istana terlalu suram karena terbuat dari bebatuan yang sepertinya minim perawatan. Dia agak merinding, terlebih pepohonan yang tumbuh adalah pohon berakar gantung dan beberapa semak, tak ada satupun tanaman bunga di taman belakang ini.
***
Makasih banyak untuk yang sudah baca😊Kritik dan saran yang membangun boleh banget langsung diketik di kolom komentar ya..
KAMU SEDANG MEMBACA
Rizo
FantasyCerita ini merupakan cerita ke tiga dari rangkaian kisah petualangan fantasi yang penulis publish. Dua cerita sebelumnya dipublish di platform sebelah. Tapi tenang aja, cerita ini bisa dibaca tanpa perlu baca cerita sebelumnya. Semoga menikmati 😊 *...