BAB VII Berkebun

10 2 0
                                    

Dua hari setelah perumusan rencana perbaikan, istana pun mulai diperbaiki. Saat ini Terfa bersama Nik, dan Lesa sedang menanam bibit bunga, sayur, dan bibit buah di halaman istana utara. Beberapa pelayan lain juga tersebar di masing-masing halaman istana.

Sejauh ini Nik dan Lesa merupakan dua teman pelayan yang paling dekat dengan Terfa. Usia mereka berdua dua tahun lebih tua dibanding usia Terfa. Masa kerja mereka juga tentu lebih lama.

Nik bekerja sejak kecil bersama ibunya yang ditugaskan di istana barat. Adapun Lesa bekerja sejak 3 tahun yang lalu.

“Aku sungguh senang saat melakukan tugas seperti ini.” Ujar Nik disela- sela kegiatannya menanam bibit bunga.

Lesa mengangguk setuju, “Sungguh aku juga tak sabar untuk merawat tanaman- tanaman ini jika nantinya mereka telah tumbuh.” Ujar Lesa tak kalah antusias.

Saat ini mereka bertiga sedang menanam bibit bunga yang dibawakan oleh pengawal. Mereka masih harus mengerjakan setengah lahan yang belum ditanami bunga. Lahan- lahan untuk buah dan sayur juga masih belum mereka kerjakan.

“Bagaimana denganmu, Terfa? Apa kau memiliki kesulitan?” Tanya Nik dengan nada perhatian.

Terfa tersenyum simpul, “Kalian tenang saja, aku juga sama menikmatinya dengan kalian. Terus terang saja aku lebih suka menanam bungan dibanding menyiapkan makanan.” Jawab Terfa diakhiri kekehan kecil.

“Syukurlah.. Terus terang saja aku tak menyangka kalau kau bisa melakukan pekerjaan seperti ini, mengingat statusmu sebelumnya dari kalangan atas.” Ucap Lesa dengan hati –hati.

“Kau benar! Melihat jari- jari cantik Terfa melakukan pekerjaan ini membuatku tak tega.” Nik menimpali.

Terfa pun tergelak, “Ahaha kau selalu saja mengkhawatirkan jari- jariku.” sahut Terfa.

Nik memang kerap kali menanyakan tangan Terfa setiap selesai melakukan pekerjaan yang menurutnya berat. Mereka bertiga bahkan beberapa kali menjadikan jari Terfa sebagai bahan lelucon. Tentu Terfa tak keberatan karena Nik dan Lesa sangat mengetahui batasan dalam bergurau.

Pembahasan tentang jari Terfa pun berlanjut, bahkan menyebar ke topik lainnya tentang kehidupan mereka sebelum di istana. Saking menikmati pekerjaannya, mereka bertiga akhirnya berhasil menyelesaikan menanam bibit bunga dengan baik.

“Astaga ini hal yang paling aku tak suka dari berkebun!” Keluh Lesa sembari menuangkan pupuk di atas tanaman yang baru saja mereka tanam

“Hum, baunya benar-benar menyengat.” Timpal Terfa

Meskipun disertai dengan berbagai keluhan, ketiganya tak urung menyelesaikan tugas dengan baik.

Setelah selesai di lahan bunga, mereka beranjak sedikit ke arah barat untuk menanam beberapa sayuran. Semua sepakat bahwa menanam bibit buah akan dilakukan paling akhir setelah istirahat siang.

“Hei kalian!” Teriak seorang pelayan dari arah barat.

Ketiganya spontan berhenti dan mengalihkan atensi mereka pada orang yang berteriak. Ternyata itu Enu, pelayan yang dulu sempat kurang ajar pada Terfa.

“Ada apa Enu?” Tanya Nik dengan suara tak kalah nyaring.

“Cepat ambil jatah makan siang kalian.” Teriak Enu lagi.

“Iya!” Kali ini Lesa yang berteriak.

Lesa kemudian menghentikan pekerjaannya, “Aku dan Nik yang akan mengambil makanan, apa kau keberatan kami tinggal sendirian?” Tanya Lesa pada Terfa.

“Tentu tidak, aku justru berterima kasih.” Jawab Terfa

Kedua rekan Terfa pun akhirnya beranjak untuk mengambil makan siang mereka.

Terfa tahu bahwa Lesa sengaja membiarkan dia tetap disini agar dirinya tetap nyaman. Sejauh ini hubungan Terfa masih sangat kaku dengan pelayan yang lain, terlebih mayoritas bersikap menyebalkan seperti Amit dan Enu.

Terfa mengelap peluh dan menegakkan badannya sejenak sebelum memulai kembali pekerjaannya.

“Astaga, ternyata masih cukup banyak.” Gumamanya sembari memandangi lahan yang masih harus digarap.

Dia kemudian menghela napas, “Huh setidaknya ini lebih baik dibanding aku harus terus- terusan di dapur.” Ujarnya Lagi.

“Baiklah Terfa, mari nikmati hari kebebasanmu tanpa mengurus dapur!” Ujar Terfa menyemangati dirinya sendiri.

Terfa mulai membungkukan badannya untuk mulai menanam kembali bibit sayuran. Namun, tubuhnya kembali menegak saat sebuah suara mengehentikan gerakannya.

“Istirahatlah sejenak jika kau kelelahan.” Suara laki-laki terdengar dari arah belakang.

Spontan Terfa membalikan tubuhnya. Mata birunya sempat sedikit terbelalak saat mendapati atensi Raja Izzel disana. Tentu saja Terfa langsung memberikan salam hormat untuk pemimpin tertinggi Petal Rizo ini.

“Maafkan saya yang tidak menyadari kedatangan anda, Yang Mulia.” Ucap Terfa.

“Tak masalah, setidaknya aku jadi tahu kau memiliki kebiasaan berbicara sendiri.” Jawab Raja Izzel.

Terfa meringis malu saat mendengar pernyataan sang Raja, “Semoga anda berkenan untuk tak menyebarkan hal itu yang mulai” Ujar Terfa asal ceplos.

Raja Izzel menyeringai, “Bisa saja, namun akan kutagih bayaran darimu nanti.” Sahutnya.

Terfa tak menyangka Raja Izzel melayani ceplosan asalnya dengan kalimat seperti itu. Tak ingin melatur lebih jauh, Terfa pun akhirnya menanyakan maksud dan tujuan kedatangan dari sang raja.

“Sedari tadi aku memang sedang menempati istana utara. Aku merasa bosan dan memutuskan untuk berjalan- jalan sebentar.” Jawab Raja Izzel.

Terfa pun mengangguk paham, dia hendak membuka suara namun urung karena teriakan kedua temannya.

“Terfa! Makan siangmu siap datang!” Teriak Lesa dari jauh, suaranya terdengar sangat senang.

Gadis itu sepertinya belum menyadari bahwa saat ini Terfa sedang bersama raja mereka. Terfa yang mendengar teriakan itu kembali meringis dan segera keluar dari lahan tanam. Dia menepi dan menghampiri Raja Izzel dengan tetap menjaga jarak.
“Maafkan temanku. Dia sepertinya belum menyadari atensi anda, Yang Mulia.” Ujar Terfa merasa tak enak.

“Tak masalah, lagi pula aku akan pergi sekarang.” Ujarnya singkat.

Benar saja, Raja Izzel pun beranjak pergi. Terfa langsung mengusap dadanya lega. Entah mengapa dia selalu merasa tegang jika berhadapan dengan Raja izzel. Rumor soal raja yang dingin dan tak berperasaan itu sepertinya cukup membuat Terfa merasa takut meski sejauh ini sikap raja tak seburuk itu.

“Hei Terfa, tadi kau dengan siapa?” Tanya Lesa setelah sampai di pinggir lahan tanam.

“Raja Izzel” Jawab Terfa singkat.

“Apa?!” Teriak Nik dan Lesa kompak.

Ekspresi keduanya membuat Terfa tergelak.

“Kau jangan bercanda!” Protes Nik memastikan.

Terfa menggendikan bahunya, “Aku tak bercanda!” Terfa membela diri.

“Mati aku..” Tubuh Lesa merosot hingga terduduk di samping lahan tanam.

Dia menyesali kebodohannya yang tak bisa menerawang atensi raja dari jauh.

Sikapnya berteriak tadi benar- benar tak sopan. Terfa sebenarnya ingin menjahili lebih lanjut, namun dia tak tega melihat Lesa yang nampak frustasi.

“Kau tenang saja, Raja Izzel tak marah padamu. Dia juga tak mempermsalahkan sikapmu itu.” Jelas Terfa pada akhirnya.

“Fyuh... Syukurlah.” Ujar Lesa dan Nik dengan kompak.

Terfa juga menceritakan bahwa kedatangan raja tadi hanya untuk memantau pekerjaan mereka.

Selanjutnya mereka bertiga pun berjalan ke arah danau untuk makan di sekitar sana. Meskipun danau ini tak terlalu terurus, entah mengapa air danau masih terlihat jernih seperti kolam yang terawat. Area pinggir danau juga tergolong nyaman untuk dijadikan tempat makan bersama.

***
Bab VII sudah selesai... Selamat membaca dan semoga menikmatinya :)

RizoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang