EPILOG

883 108 26
                                    

♬♩♪♩ ♩♪♩♬

Pandangan dan pikirannya fokus pada buku di depannya. Sejak kemarin malam Iyris tak henti-henti membaca materi dari buku-buku pelajaran tersebut, memaksanya untuk masuk ke kepala walau sepertinya pikirannya sudah kelelahan. Ia belum tidur selama berhari-hari. Yang perempuan itu lakukan hanyalah duduk di perpustakaan istana dan belajar. Belajar sampai Ia tidak bisa lagi sekedar membuka matanya. Akhirnya pada siang hari itu, Iyris tertidur di meja belajarnya. Di antara buku-buku tebal yang bertumpuk.

Iyris tidak pernah sekolah sebelumnya. Ia hanya pernah diajarkan membaca, menulis, dan hitung-hitungan dasar oleh Tuan Tom, pemilik panti asuhannya dulu. Ada dua cara yang bisa dilakukan untuk masuk ke perguruan tinggi militer ternama yang ada di Havalen. Akademi Lagetus. Pertama dengan jalur nilai, dan yang kedua dengan tes. Tentu saja Iyris tidak bisa mengambil jalur nilai, jadi Ia mempersiapkan dirinya untuk tes yang akan datang enam bulan lagi. Ia harus mengejar ketertinggalannya selama dua puluh tahun dan memaksa otaknya untuk menyerap semua materi yang seharusnya sudah dipelajari sejak lama. Bukan hanya itu, Ia juga harus bersaing dengan puluhan ribu pelajar Havalen yang juga mengambil tes ini dan sudah mempersiapkan diri mereka bertahun-tahun lalu.

Selama empat bulan terakhir Iyris hampir tidak pernah keluar dari perpustakaan, kecuali untuk mandi. Sama halnya dengan Seyanor dan Sheyon yang tengah belajar di bilik terpisah. Walau berada di satu ruangan, mereka jarang sekali bertemu untuk sekedar mengobrol. Semuanya sibuk dengan urusan masing-masing.

Iyris berterimakasih karena Halsten cukup banyak membantu mereka. Semua buku-buku pelajaran itu didapat langsung dari akademi Lagetus. Halsten sempat menawarkan untuk mengambil jalur instan, tapi Iyris menolak. Ia ingin berada di perguruan tinggi itu karena usahanya sendiri, dan ilmu apapun yang harus di pelajarinya sekarang, Ia percaya kalau Ia membutuhkan ilmu tersebut di akademi nanti. Iyris tidak bisa masuk begitu saja dengan keadaan buta.

Iyris masih tertidur lelap di mejanya saat Halsten masuk ke dalam perpustakaan, berjalan menuju biliknya. Tatapan lelaki itu terpaku pada warna kehitaman di bawah mata Iyris. Sinar matahari menerpa langsung wajah pucatnya, tapi Ia sama sekali tidak terganggu saking lelahnya. Jari-jari Halsten bergerak menyapu helaian rambut yang berada di wajah perempuan tersebut. Pandangan Halsten kemudian beralih pada dua buku yang terbuka di depan Iyris dan sebuah buku catatan.

"Dia belajar aljabar, aritmatika, dan geometri secara bersamaan," gumam Halsten.

Halsten tidak ingin mengganggu tidur Iyris, mengingat perempuan itu jarang sekali tidur. Namun tutor yang akan mengajarinya sudah datang dan tengah menuju ke perpustakaan.

Dengan perlahan Halsten mengguncang bahu Iyris, tapi perempuan itu tidak kunjung terbangun. Lelaki itu mengguncang berkali-kali, tapi Iyris masih setia terlelap. Akhirnya Halsten melakukan cara terakhir yang mungkin saja akan berhasil. Ia meraih pena dengan bulu burung putih di ujungnya, lalu menyapukan bulu burung itu ke telinga Iyris. Sontak Iyris langsung terbangun dan menjauhkan telinganya.

Halsten tersenyum, sedikit tertawa. "Tutor Hendrik sudah menunggu."

Iyris berdecak, mengucek-ngucek matanya. Ekspresinya terlihat kesal karena dibangunkan dengan cara seperti itu.

"Maaf. Kau tidak kunjung bangun, jadi aku harus melakukannya." Halsten menaruh kembali pena itu di atas meja. "Aku meminta Hendrik untuk mengajarimu sampai malam nanti, dan untungnya dia tidak memiliki jadwal yang padat hari ini. Tapi sebaiknya kau menggunakan jam istirahatmu untuk benar-benar beristirahat."

Whistle of the OcarinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang