42. The Devil is Hiding

585 97 17
                                    

♬♩♪♩ ♩♪♩♬

Suara gemuruh kencang terdengar sampai ke pesisir. Turis-turis yang tengah asyik menikmati pemandangan dan minum-minum untuk menghangatkan diri pun terdiam. Keheningan terjadi begitu cepat. Mereka saling tatap satu sama lain, mempertanyakan apa yang terjadi.

"Esnya... Esnya hancur!" Sheyon menunjuk ke arah retakan yang menjalar cepat sampai ke pesisir danau. Jika di pesisir dampaknya sampai seperti ini, suara gemuruh itu berarti datang dari es yang hancur di tengah sana.

Napas Seyanor langsung memburu, sama seperti detak jantungnya. Lelaki itu berlari ke danau beku yang retak di sana-sini, tapi sebelum ia pergi lebih jauh, Halsten menarik baju lengan panjang lelaki itu untuk kembali memijak tanah. Seyanor menepis tangan Halsten. Kulitnya langsung melepuh begitu jari telunjuk Halsten tidak sengaja menyentuh kulit tangannya yang pucat, tapi Seyanor tidak mempedulikan hal tersebut. "Apa yang kau lakukan?" tanyanya jengkel.

"Seharusnya aku yang bertanya apa yang kau lakukan?" Nada suara Halsten terdengar begitu tenang seperti biasa.

"Tentu saja menolong Iyris!"

"Apa yang akan kau lakukan di tengah sana? Melompat ke dalam air beku dan berenang tanpa arah mencarinya? Itu sama saja bunuh diri."

Seyanor terdiam cukup lama. "Lalu aku harus menunggu di sini seperti orang bodoh sampai tubuh Iyris akhirnya hanyut sendiri ke pesisir?"

"Dia benar." Jazel bergabung ke dalam pertikaian mereka. "Untuk saat ini tidak ada yang bisa kita lakukan. Tidak ada kapal ataupun perahu yang bisa membawa kita ke tengah."

"Tapi Iyris akan baik-baik saja, kan?" Sheyon bertanya dengan suara gemetar. Air mata membasahi pipinya yang memerah karena kedinginan. Nyle di sebelahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun. Apapun yang dirasakan lelaki itu, semuanya disembunyikan rapat-rapat di balik penyamarannya.

Hening beberapa detik sebelum suara gemuruh yang jauh lebih kencang terdengar. Es-es di pesisir retak, terbelah menjadi bagian-bagian besar. Dari balik kabut, badan besar panjang yang ditutup sisik muncul samar-samar dari permukaan, lalu tak lama kemudian kepala makhluk itu muncul. Kepala seekor naga. Keempat tanduknya yang sewarna langit itu menjulang gagah, gigi-gigi tajamnya mampu membuat siapapun gemetar ketakutan. Mata kuningnya berkilat-kilat walau dari balik kabut. Seluruh turis yang ada di sekitaran danau berlarian seraya menjerit-jerit. Mereka berbondong-bondong melarikan diri, saling dorong dan injak.

"Demi pohon agung, makhluk apa itu?" Mata Jake mendelik, tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Mungkin sebelumnya ia sudah pernah melihat monster rusa, gagak raksasa, ataupun siluman rubah, tapi melihat seekor naga dengan mata kepalanya sendiri? Terakhir kali ia bermimpi untuk melihat seekor naga adalah saat umurnya sembilan tahun.

Halsten melompat ke arah bongkahan es yang cukup besar dan tebal. Aclys-nya melapisi bagian bawah es tersebut. Bayangan hitam tersebut mendorongnya menjauh dari pesisir tanpa disadari siapapun.

"Halsten, apa yang kau lakukan?" Jake berteriak panik begitu menyadari sang Kakak sudah berlayar dengan sebongkah es di danau tersebut. "Kembali ke sini, sialan!"

"Aku hanya pergi sebentar!" Halsten balas berteriak, sempat tersenyum singkat ke arah sang Adik, sebelum akhirnya mendorong bongkahan es itu semakin menjauh.

"Hei, bawa aku bersamamu!" teriak Seyanor, tapi terlambat. Sosok Halsten sudah tidak terlihat lagi dari balik kabut.

🍂

Whistle of the OcarinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang