19. Who to Believe?

735 123 17
                                    

♬♩♪♩ ♩♪♩♬

Halsten menatap Iyris cukup lama, berpikir apakah ia bisa mempercayai perempuan di depannya ini atau tidak. Apakah ia bisa memberitahu semua yang ia lihat atau tidak. Dengan latar belakangnya yang kelam ini, bukankah itu sudah cukup bagi Iyris untuk menganggapnya kehilangan akal sehat?

"Saya percaya pada anda, Tuan. Bukankah kita punya kesepakatan satu sama lain?" Iyris sekali lagi mengulang kalimatnya, walau sebenarnya ia berada di posisi antara percaya dan tidak. Itu semua terdengar mustahil, tapi mengingat waktunya yang semakin menipis, ia tidak punya pilihan lain selain mengumpulkan sebanyak apapun informasi yang ia bisa.

Halsten mengangguk singkat, mengambil duduk, mempersilahkan Iyris untuk ikut duduk di kursi di depannya.

"Anda mendapat penglihatan itu sudah sejak lama?" Iyris mulai bertanya, tidak sabaran.

"Tidak. Saya tidak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Ini semua berawal saat kau berhasil masuk ke ruangan ini. Saat itu, kau menahan tangan saya agar tidak memukuli kepala saya sendiri karena kau mengira kalau penyakit saya kembali kambuh. Tapi itu bukan karena penyakit yang kambuh, tapi karena hal lain. Setiap saya melakukan kontak fisik denganmu, terkadang cahaya terang itu muncul dan saya tidak sadarkan diri. Entah itu pingsan, termangu, atau tertidur." Halsten terdiam sejenak, menatap Iyris yang masih serius mendengarkan. Lelaki itu menyeringai, bersandar pada kursi. "Apa kau masih ingin lanjut atau sudah muak dengan dongeng ini?"

"Tidak, silahkan lanjutkan, Tuan."

Halsten memalingkan pandangannya, mencoba mengingat-ingat. "Tadi, cahaya itu kembali terlihat. Itu gambaran masa lalu saat saya baru saja lahir. Gambaran ramalan dari Arboriv. Peramal yang membaca ramalan itu mengatakan hal yang sama seperti pada kertas ramalan yang pernah saya berikan padamu." Halsten terdiam, menelan sejenak ludahnya. "Tapi ternyata ada yang terlewat. Peramal itu juga membacakan ramalan soal si Pembawa Kutukan."

"Si Pembawa Kutukan? Siapa?" Iyris mulai tertarik dengan percakapan tersebut.

Halsten menggeleng singkat. "Tidak tahu. Ramalan tentang si Pembawa Kutukan itu juga tertulis di buku tua tempat saya menemukan ramalan saya. Saya tidak sempat menyalin ramalan tersebut."

"Buku seperti apa?"

"Buku tua dengan sampul kulit berwarna coklat. Terukir bentuk pohon di atas sampul." Halsten merogoh lemari meja, mencari sesuatu di dalam sana. Tak beberapa lama kemudian, lelaki itu mengeluarkan selembaran kertas dari sana. Kertas dengan gambar buku yang tidak terlalu tebal dengan sampul bergambarkan sebuah pohon.

Iyris meraih kertas tersebut, menatapnya lamat-lamat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Iyris meraih kertas tersebut, menatapnya lamat-lamat. Hampir semua informasi yang Halsten berikan selalu berupa gambar. Mungkin itu satu-satunya cara baginya untuk menyimpan informasi-informasi tersebut.

"Kenapa anda tidak melihat isi buku ini lagi untuk melihat isi ramalan si Pembawa Kutukan?" Iyris mengangkat kepalanya, menatap bingung Halsten yang sekarang tengah menulis sesuatu di secarik kertas. "Apa yang anda lakukan, Tuan?"

Whistle of the OcarinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang