Bagian 02

986 94 9
                                    

Azka tengah membereskan barang-barangnya, ia melipat rapi dan memasukkan baju-bajunya ke dalam lemari, bahkan saking rajinnya Azka, ia bahkan membantu Sena untuk merapikan baju-bajunya di saat kakaknya itu kini tengah tidur dengan nyenyaknya. Padahal sedari tadi siang Sena terus mengeluh, mengatakan kamar barunya dan Azka itu tidak nyaman, namun lihatlah sekarang! bahkan Sena sudah tertidur saat waktu masih menunjukan jam 8 malam.

Azka sesekali menggerutu kesal, ia juga lelah merapikan pakaiannya sendiri tapi malah harus merapikan punya Sena juga. Jika tidak di rapikan, koper-koper Sena yang teronggok di dalam kamar itu mengganggu pandangannya. Kamarnya jadi nampak sempit dan membuat Azka tak nyaman melihatnya, maka dari itu Azka memilih merapikan milik kakaknya juga.

"Dek.."

Azka menolehkan kepala saat melihat pintu kamarnya yang terbuka, menampilkan sosok Naren yang berjalan mendekatinya.

"Kamu lagi beres-beres ya? Loh.. Sena kok udah tidur aja?"

"Kecapean kayaknya, gak tega juga aku bangunin, Kak."

"Sena kan belum makan."

Naren kemudian mendekati ranjang dan mengguncang bahu Sena.

"Bangun,Sen. Makan malam dulu."

"Sena bangun!!"

"Arsena Daniswara, bangun!!"

Naren mengguncang berkali-kali bahu Sena dan memanggil nama adiknya namun Sena sepertinya terlalu larut dalam mimpinya.

"Kak.. gak gitu caranya bangunin manusia kebo macam Kak Sena."

Azka beralih naik ke ranjang, menyingkap selimut yang menempel di tubuh Sena membuat Sena mengerang, kemudian ia menyingkap kaus yang di pakai Sena menampilkan perutnya lalu menggelitiki Sena dengan brutal membuat Sena menggeliat kegelian dan terpaksa membuka matanya.

"Nyebelin banget sih lo!!" kesal Sena saat melihat pelaku yang menggelitikinya adalah Azka yang kini hanya menatap datar padanya. Azka itu tahu kelemahan Sena. Sena itu gelian orangnya dan paling tak bisa di gelitiki seperti tadi.

"Bangun makanya! tidur mulu lo dari tadi."

"Gue ngantuk, ya tidurlah masa salto!"

"Bangun Sen. Makan dulu, habis itu bantuin tuh adeknya beberes. Baru tidur." ucap Naren yang membuat Azka tersenyum puas karena Naren berada di pihaknya.

"Iya.. iya ah!"

"Cuci muka dulu sana! Dek ayo kita ke ruang makan, beberesnya nanti aja!" ujar Naren lalu merangkul bahu Azka dan menuntunya ke meja makan, sementara Sena memilih mencuci wajahnya setelahnya ikut bergabung di ruang makan.

"Hah? cuma ini makanannya, Kak?" tanya Sena saat melihat hanya ada nasi goreng yang tersaji di atas meja makan di hadapannya.

"Iya.. Kakak jarang nyetok bahan makanan, mau pesen online takutnya agak lama, makanya Kakak masak nasi goreng aja."

"Hmm.. kalau di rumah tuh ada Bi Ira yang suka masakin, makanannya enak-enak lagi."

Naren menaruh sendoknya pelan dan memandang serius Sena yang masih memasang wajah masamnya.

"Sen.. ini bukan di rumah, ini di tempat Kakak, jadi Kakak harap kamu bisa nerima apa yang ada disini, kamu jangan banyak mengeluh soal makanan, Sen. Di luar sana banyak yang gak bisa makan, makanya kamu harus bersyukur."

"Aku gak ngeluh kok."

"Sen.. Ini tempat Kakak, jadi Kakak punya peraturan disini, Kakak denger kamu sering keluyuran malem-malem buat balapan, selama tinggal disini kalian berdua, terutama kamu Sena jangan main keluar malem-malem, batas kalian main di luar sampai jam 8 malem, kalo lebih dari itu, maka Kakak bakal kasih hukuman, hukumannya tidur di luar semalem."

Mendengar ucapan kakaknya, Sena lantas melotot tak terima, ia kemudian memandang kakaknya dengan tatapan kesal.

"Kak.. aku ini udah dewasa! masa mau main aja di bates-batesin gitu waktunya, di kira anak kecil apa?"

Mendengar ucapan Sena, Naren lantas tertawa. Sementara Azka memilih diam saja menyimak obrolan kedua kakaknya dengan makan nasi goreng buatan kakaknya yang ia akui rasanya sangat enak itu.

"Udah dewasa kamu bilang? mana ada udah dewasa masih suka manja sama ngerengek bahkan sampai nangis-nangis kalo keinginannya gak di penuhi. Kamu itu masih 17 apalagi Azka, masih 15 mana ada udah dewasa."

"Ya.. gak peduli! pokoknya gak mau ada aturan-aturan kayak gitu segala."

"Gak ada bantahan, itu baru peraturan pertama. Masih ada lagi."

"Hah? masih ada? Yang bener aja, Kak."

"Kak Sena, diem dulu bisa gak?" ujar Azka yang kesal mendengar suara kencang Sena yang duduk di dekatnya itu, kepalanya sampai pusing mendengar Sena yang beberapa kali berteriak di dekatnya.

"Dengar! yang tadi itu peraturan pertama, yang kedua, kalau Kakak denger ada di antara kalian yang nakal dan buat kenakalan di sekolah maka uang jajan kalian bakal Kakak sita, mulai bulan depan. Uang jajan kalian Kakak yang atur, Ayah bakal kirimin uang jajan kalian ke rekening Kakak. Yang ketiga. Setiap hari ada jadwal cuci piring setelah makan pagi dan malem, paginya bagian Azka dan malemnya bagian Sena. Yang ke empat. Setiap minggu kalian harus bersihin apartemen Kakak dan cuci baju Kakak sama baju-baju kalian, kalian bisa bagi-bagi tugas."

"Kakak apa-apaan? di kira kita pembantu apa? di rumah aja aku gak pernah cuci piring apalagi beresin rumah ini malah di suruh-suruh begitu!" protes Sena

"Itu biar kamu gak terlalu manja dan bisa ngerjain kerjaan kayak gitu."

"Terus itu juga.. sejak kapan uang jajan aku sama Azka di kirimnya ke kakak? Biasanya juga di kirim langsung ke rekening aku sama Azka, kok!"

"Itu emang permintaan Ayah. Kalo kamu gak percaya tanya aja sama Ayah."

"Tau ah! Kakak tuh nyebelin banget. Tau gitu aku tinggal di rumah aja."

"Ya udah sana tinggal di rumah sendirian!! disana gak ada siapa-siapa, cuma ada Pak Satpam karena Bi Ira pulang kampung. Kalo kamu disana sama aja, kamu harus lakuin semua sendiri, makan harus masak sendiri, beberes juga sendiri, mau kamu?"

"Nyebelin!! Gak Ayah gak Kakak semuanya nyebelin!!"

Sena pergi begitu saja lalu membanting pintu kamarnya agak keras. Naren yang melihat itu hanya bisa menghela nafas. Ia harus bisa merubah sifat manja dan nakal Sena seperti permintaan ayahnya. Tak apa jika Sena menganggapnya terlalu keras namun Naren ingin adiknya itu berubah.

"Yang sabar ya, Kak."

Naren tersenyum saat mendengar ucapan adik bungsunya itu, selama ini hanya Azka yang selalu bisa menjadi anak manis dan selalu menuruti ucapan ayah dan kakaknya. Anak itu terlalu tenang hingga bahkan Naren khawatir kalau Azka akan memendam semuanya sendirian jika memiliki masalah.

"Kak Sena emang ambekan orangnya, tapi Kak Sena itu sebenarnya baik kok."

"Iya.. Kakak tau, Adek lanjutin makannya ya. Nanti Adek coba bujuk Kak Sena buat makan, dia gak makan sama sekali tadi. Sampein juga maaf Kakak buat Kak Sena."

"Iya, Kak." Naren mengusak lembut surai Azka, ia bahkan baru menyadari bahwa adiknya sudah sebesar ini.

"Dek.. kamu sekarang tinggi banget. Bahkan udah ngalahin tingginya Kakak, padahal dulu waktu Kakak masih tinggal di rumah, kamu tuh pendek banget."

"Ya.. kan aku tumbuh Kak. Masa kecil terus."

"Iya sih.. Oh ya di sekolah kamu gimana? Kamu ikut kegiatan apa?"

"Gak ada Kak. Aku cuma fokus belajar, tapi waktu SMP pernah ikut olimpiade, mungkin kalo sekarang di suruh ikut aku juga mau."

Naren kembali mengembangkan senyumnya dan mengusap surai Azka.

"Kalau Sena, dia di sekolahnya gimana?"

"Kak Sena ikut tim basket dan jadi ketuanya. Dia populer di sekolah, Kak. Bahkan yang aku tau Kak Sena mau ikut kejuaraan nasional beberapa bulan lagi."

"Wah.. hebat banget itu, Kakak seneng dengernya, adek-adek Kakak membanggakan banget."

Malam itu obrolan terus berlanjut setelah makan malam berakhir. Mungkin seperti inilah Naren seharusnya bersikap sejak dulu, mencoba dekat dengan kedua adiknya bukannya malah membentangkan jarak di antara mereka.[]

SIBLINGSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang