20

2.7K 309 18
                                    

~PHOBIA~

Semalaman Zeevano tidak tidur. Dirinya duduk di atas kasur memandang kosong di tengah kegelapan kamar dengan lampu yang sengaja tidak dia nyalakan. Rencana untuk jalan berdua dengan Chika semalam batal, setelah dirinya mendapat pesan jika Chika terjebak di dalam kamar, di rumah atas perbuatan sang ayah. Zeevano juga sudah dijelaskan oleh Chika tentang apa yang akan terjadi nanti. Chika meminta dirinya untuk pergi ke rumahnya, menemui orang tuanya dan membawanya kembali pergi dari rumah. Karena Chika tidak mau perjodohan itu terjadi.

Namun, sampai sekarang Zeevano masih saja takut untuk berhadapan langsung dengan kedua orang tua Chika. Pikiran negatif selalu memenuhi kepalanya. Di sisi lain tak yakin akan sekuat itu untuk berhadapan dengan mereka semua. Apa Zeevano bisa?

"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Monolog Zeevano, dengan mengacak rambutnya frustasi.

Akan tetapi dirinya tidak rela jika Chika dijodohkan dengan lelaki lain. Chika sudah menjadi milik Zeevano, bahkan mahkota Chika, dia lah yang mengambil. Dia sebagai lelaki yang harus mempunyai rasa tanggung jawab, tak mungkin membiarkan perempuannya berjalan dengan sendiri. Namun, Zeevano katakanlah masih menjadi pengecut! Selalu takut untuk keluar dari zonanya sekarang.

Pilihan hanya dua. Menjadi berani atau tidak sama sekali.

~PHOBIA~

Chika terbangun dengan mata sembabnya. Entah sejak kapan Chika bisa tertidur, karena semalam dia terus menangis dan berdebat dengan Zeevano, meminta kekasihnya itu untuk datang. Jika Zeevano belum siap untuk menikahinya, setidaknya datang untuk membatalkan perjodohan. Hanya itu yang Chika inginkan sekarang. Setidak mau itu Chika dijodohkan. Dia hanya mau jika bersama Zeevano. Selain itu tidak!

Belum ada pesan lagi yang Chika terima dari Zeevano. Sekarang sudah pukul 7 pagi, maka dua jam lagi kemungkinan Oniel dan keluarganya akan sampai ke rumah. Chika sudah meminya bantuan juga kepada Dey, bahkan asistennya untuk membantunya keluar dari sini. Dan Dey menjawab akan mencoba datang membantu Chika, karena bagaimanapun mereka adalah sahabat. Harus saling membantu satu sama lain saat ada yang kesusahan.

Sampai sekarang pintu Chika masih terkunci. Chika tak bisa keluar dari kamar. Jalan satu-satunya adalah balkon kamar, tapi tak mungkin Chika lompat dari atas sana. Segila-gilanya Chika, dia masih waras untuk tidak melakukan hal itu yang bisa membahayakan dirinya. Selain menunggu, apa yang bisa Chika lakukan lagi? Sepertinya tidak ada.

Ada sesecra harapan saat pintu kamarnya kini terbuka. Mamanya masuk membawa nampan berisi makanan. Sedangkan pintu kembali tertutup. "Mama, bantuin Chika keluar Ma. Chika ga mau kayak gini," mohon Chika dengan serius.

"Mama juga maunya gitu sayang, tapi Papa kamu keras kepala, egois! Semalaman Mama udah nyoba bujuk dia, tapi hasilnya sama saja. Mau bantuin kamu keluar dari kamar diam-diam, tapi kunci utama dan kunci cadangan kamar kamu diumpetin sama Papa. Mama ga bisa apa-apa. Bahkan sekarang aja, Papa kamu nungguin di depan pintu, ngejaga biar kamu ga bisa kabur. Mama ga habis pikir dengan Papa kamu itu," jelas Mama Chika. Tentu Mama Chika juga merasa geram dengan tingkah sang suami itu.

"Papa kenapa tega sama Chika sih Ma? Chika cuma pengen rasain kebahagiaan Chika sendiri. Apa sesusah itu?" Hati Mama Chika terenyuh, ia ikut merasakan kesedihan Chika. Ikatan ibu dan anak yang begitu kuat, membuat Mama Chika bisa merasakan apa yang Chika rasakan sekarang. Ia memeluk tubuh sang anak yang kini menangis. Mengusap lembut rambut Chika, mencoba memberi ketenangan.

"Kamu yang sabar Chika. Mama akan coba bujuk Papa lagi, sampai nanti hati Papa luluh. Sekarang lebih baik kamu makan dan siap-siap, sebelum Papa kamu marah dan tambah runyam nantinya." Mama Chika mengurai pelukan dan menghapus air mata yang membasahi wajah cantik anaknya.

PHOBIA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang