21. Cerewet

335 40 8
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

.

"Besok antarin saya, tidak mau tau. Tidak menerima penolakan!" ucap Yibo di belakang Sean yang tengah membawa karung berisi rumput untuk pakan kelincinya juga kambing milik Paku.

Sean terus berjalan tanpa peduli dengan Yibo yang sedari tadi terus memaksanya untuk mengantarnya ke kota.
Bukannya tidak mau, hanya saja Sean besok sibuk.

Sibuk kencan.

"Kamu dengar tidak?" protes Yibo karena sedari tadi Sean tidak menanggapinya.

"Saya sibuk mas Gunamel," jawab Sean pada akhirnya.

Yibo mendecih, dan menatap sinis punggung Sean.
"Sibuk apa kamu? Bercinta?!"

Sean menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah Yibo dengan alis terangkat.
"Iya! Makanya mas Gunamel jangan ganggu saya." ujarnya, sambil mendorong dada Yibo dengan telunjuknya beberapa kali.

"Besok jam 3 sore. Datang atau saya bakar kandang kelinci mu itu." final Yibo, lalu melenggang pergi. Meninggalkan Sean yang melemparkan karungnya kesal.

"Mas Gunamel.." desisnya memandang punggung tegap itu yang perlahan menjauh.

Yibo itu, selalu saja seenaknya saat menyuruh Sean. Padahal banyak pekerja lainnya, yang malah sepantaran dengan Yibo.
Tapi Yibo selalu saja memilih Sean untuk di repotkan.

"Haissh!!" geramnya memperlihatkan dua gigi besarnya.
Kalau bukan karena cucunya mbah Wuri, penguasa desa ini, pasti sudah Sean lempar karung yang di bawanya pada kepala Yibo.

-

Esoknya, Sean memenuhi keinginan Yibo. Meski sudah lewat dari jam yang sudah di tentukan.
Terserah Sean dong.

"Telat 35 menit." tukas Yibo yang menunjukkan jam di tangannya pada wajah Sean yang cemberut.

Sean menyingkirkan tangan Yibo dari wajahnya.
Dekat sekali, Sean kan tidak rabun.
"Sudah, ayo! Keburu malam, Mas."

"Itu salahmu."

"Iya-iya, hmm."

"Sean hati-hati ya.." sahut Wuri yang duduk di bangku teras dengan se-cangkir wedang jahe di tangannya.

Sean buru-buru merubah mimik wajahnya dan tersenyum ramah, lalu mengangguk sopan pada Wuri.
"Eh, Mbah Wuri.. Nggeh.." sapanya dengan sangat manis.

Fokusnya sedari tadi hanya pada Yibo, hingga tak menyadari Wuri yang duduk di teras.
"Kalau begitu Sean pamit mbah Wuri, Monggo.." pamit Sean yang di angguki Wuri.

Tin!

"Berhenti." perintah Yibo, saat mereka memasuki jalan besar.

Sean menurut dengan bingung, lalu menepi.
"Ada apa, Mas?" tanya Sean melongok ke belakang.

Yibo turun dari boncengan, lalu memberi isyarat pada Sean untuk duduk di belakang.
"Saya yang nyetir."

Sean yang merasa trauma saat di bonceng Yibo pun menolak.
"Biar saya saja mas yang nyetir. Mas Gunamel duduk saja yang manis di belakang." ujar Sean dengan senyuman khas miliknya.

Memasukkan kedua tangannya pada celana, Yibo memandang Sean remeh.
"Kenapa? Takut?" sindir Yibo di sertai senyuman mengejek.

"Bukan begitu.." Sean cemberut, "Tapi mas Gunamel bawa motornya suka sembrono. Saya kan masih sayang nyawa, Mas." terangnya, berharap Yibo mengerti dan kembali duduk pada boncengan.

Tapi sepertinya itu tidaklah mudah. Karena Yibo malah memainkan perkataan Sean.

"Kalau sayang saya, pegangan makanya."

Loh?

"Sayang nyawa, Mas. Bukan sayang saya." koreksi Sean.

"Kok ngatur?"

Sean hanya bisa tersenyum nanar di tempatnya, lalu menggeser bokongnya pada jok belakang.
"Silahkan.."

Berdebat dengan Yibo adalah suatu kesalahan.

Motor melaju dengan kecepatan sedang, dengan Yibo yang menyetir.
Sean yang semula merasa was-was, kini sudah merasa nyaman karena Yibo tidak sembrono lagi.

Atau mungkin belum?

"Mau membeli apa, Mas?"

"Kepo!" sahutnya cuek.

Karepmu, Mas! batin Sean dongkol.

"Pegangan."

"Sudah pegangan ini, Mas. Pegang apa lagi?" tanya Sean yang memang sudah bertumpu pada besi yang melingkar pada jok belakang.

"Saya."

"HAH?!" ucap Sean yang tidak mendengar perkataan Yibo.
Salahkan angin yang tiba-tiba bertiup terlalu kencang. Hingga membuat Sean mendadak kehilangan pendengarannya.

"Pegangan sama saya! Saya mau ngebut." ulang Yibo setengah berteriak.

Masih belum jelas akan ucapan Yibo, Sean sampai melebarkan helm yang tengah ia pakai. Berharap suara Yibo masuk ke dalam gendang telinganya.
"HAH?! Apa, Mas? Saya tidak dengar." teriak Sean dari belakang.

Tsk!

Kesal dengan Sean yang tak kunjung mengerti, Yibo menancap gasnya hingga Sean hampir terjengkang dan reflek memeluk pinggang ramping Yibo.

Sean merasa dejavu dengan kejadian barusan. Dan itu membuatnya ngeri.
"Mas Gunamel, sudah biar saya saja yang bonceng." pinta Sean dengan jantung yang berdetak tidak karuan.

"Berisik!"

Sean sudah pasrah jika sewaktu-waktu nyawanya lepas dari raganya. Yang bisa Sean lakukan hanyalah berdoa, semoga segala dosanya terampuni.

Tapi Sean belum siap mati :(

"LAMPU MERAH!!" Panik Sean sambil memukul-mukul bahu Yibo kuat-kuat.

"Akh! Akh!" Yibo menghentikan laju motornya tepat di belakang garis putih. Lalu menoleh ke arah Sean.
"Sakit bego!" ujarnya mengelus bahunya yang terasa panas.

"Ya makanya mas, kalau mau mati jangan ajak-ajak dong." protes Sean, "Bawa motornya santai saja gitu, ini kan bukan sirkuit balap, Mas."

"Cerewet!" sahut Yibo ketus.

"Bukannya cerewet, tapi ini demi kebaikan bersama mas Gunamel..." Sean menarik napasnya kemudian melanjutkan omelannya yang panjang kali lebar itu, hingga tidak menyadari jika semua pasang mata yang terjebak di lampu merah menyorot ke arahnya.

Bahkan para pengamen terlupa dengan kegiatan mereka.

Yibo menepuk lutut Sean untuk menghentikannya mengomel. Lagipula telinganya juga sudah sangat pengang.
"Iya-iya! Bawel banget sih? Malu di lihatin orang." ucap Yibo menunjuk orang-orang dengan dagunya. Bahkan anjing pun ikut menyimak perdebatan mereka.

Guk!!

"Waaaa!!" teriak Sean saat anjing itu menyalak padanya.






🐶🐶🐶🐶🐶

Waaaaaa : 🦖

Bang Sean Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang