PH49

21.9K 1.4K 125
                                    

Jeno membuka pintu apartemen sang ibu setelah memasukkan sandi. Di tangannya dia sudah memegang seikat bunga. Matanya celingukan saat masuk ke dalam apartemen sang ibu dan mendapati suaminya sudah duduk di sofa ruang tamu dengan wajah merajuk.

Tiffany yang datang membawa sepiring buah, tersentak melihat ia berpapasan dengan putranya. Bibirnya melengkungkan senyum lalu menepuk pelan pundak putranya, dia melangkah lebih dulu, menyajikan buah untuk menantunya.

Jeno lantas menyusul.

Melihat putranya berdiri di sampingnya, Tiffany pun memutuskan pergi, membiarkan putra dan menantunya bicara berdua.

“Sayang...”

Yang di panggil bukannya menoleh justru membuang pandangannya dengan kedua tangan terlipat di dada. Jeno menghela nafas seraya menggaruk telinganya, ia pun mengambil posisi duduk di samping sang suami. Dengan ragu dan takut-takut, dia menyerahkan bunga yang ia bawa.

“Sayang, kenapa?” Tanya Jeno lembut.

“Mau apa kau datang? Aku pikir kau tidak peduli denganku.” Ia mengomel masih enggan menatap suaminya.

“Bicara apa suamiku ini, jelas aku peduli padamu. Ada apa Sayang?”

Jaemin enggan menjawab membuat Jeno menghela nafas bingung lagi, tangannya kemudian terulur untuk menarik satu lengan Jaemin, kemudian menggenggam jemarinya yang lentik.

“Aku minta maaf.” Ujarnya lirih yang berhasil mencuri perhatian suaminya.

Rahangnya yang semula keras, serta wajah dingin Jaemin, dengan cepat berubah, dia luluh dan mencair meski Jeno hanya mengatakan maaf.

“Aku tidak seperti yang kau pikirkan, aku tidak berselingkuh. Tapi aku ingin kau tahu, Sayang. Kau sedang mengandung, trimester awal terlalu rawan bagimu untuk melakukan aktivitas berlebihan...” Ia menjelaskan dengan lembut, mencoba memberi suaminya pengertian.

“Ingat, kita yang menginginkan kehadiran anak kita. Tentu, harus kita yang secara sadar menjaga mereka.” Lanjutnya membuat hati Jaemin terketuk.

Bola matanya dengan ragu-ragu melirik ke arah sang suami yang tak melunturkan senyumnya sama sekali.

Dia pun turut memikirkan ucapan suaminya yang dia akui benar.

“Aku tidak tahu apa yang terjadi denganku tapi aku selalu ingin dekat denganmu.” Ia mengomel membuat Jeno tertawa kecil.

“Aku tahu, itu sebabnya aku segera menyelesaikan pekerjaanku. Aku juga ingin memberimu banyak waktu selama kehamilanmu. Kita sama-sama berusaha.”

Jaemin menghela nafas lalu merentangkan tangannya, memberi isyarat minta di peluk dan Jeno langsung memeluknya.

“Aku minta maaf.”

“Aku juga minta maaf.” Balas Jeno, dia mengecup sayang pucuk kepala suaminya.

Setelah dekapan hangat itu, Jeno melepasnya lalu memberikan bunga yang ia bawa dan Jaemin menerimanya dengan senang hati.

Tiffany hanya menggeleng melihat putra dan menantunya. Matanya berkaca-kaca melihat bagaimana hangatnya sikap Jeno, seperti dia memutar kilas balik hubungannya dengan mendiang sang suami. Jeno benar-benar lembut dan penyayang.

Dia berharap, Jaemin akan bahagia seperti dia yang bahagia bersama mendiang suaminya dulu.

Tiffany meletakkan sepiring udang goreng ke atas meja, sementara Jeno baru saja datang mengambil minum. Dia menoleh saat merasakan tepukan jemari sang ibu pada pundaknya.

“Tolong lebih sabar menghadapi Jaemin.” Tiffany membuka pembicaraan membuat Jeno mengurungkan niatnya untuk meneguk air mineral.

“Orang hamil cenderung memiliki perubahan suasana hati. Dia bisa menjadi lebih sensitif. Itu juga tidak mudah baginya. Sedikit lebih sabar menghadapi Jaemin, ya? Dan lagi, dia suka di manja.”

Partner or Husband [NOMIN]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang