18

1.1K 55 9
                                    

"Padahal, gak di obati juga nanti bakal sembuh. El gak papa,"Terduduk di ranjang dengan Bi Ratih yang duduk di depannya.

Wanita itu memegang kotak P3K, tangannya sibuk memasangkan perban pada tangan El yang melepuh.

"Gak papa bagaimana, tangan den El melepuh begini. Bibi yakin nih, pasti panaskan udah den El jangan protes biar Bibi obatin,"Bi Ratih balas mengomel, omelan yang sudah jelas karena kasih sayang dan perhatian.

El hanya mengangguk lelaki itu sekarang hanya diam, membiarkan Bi Ratih mengobati lukanya. Dia bahkan hampir lupa dengan perutnya yang lapar, karna tak jadi makan.

"Udah..."Kembali menutup kotak P3K," Bibi juga bilang apa, buat apa Den El nungguin nyonya Saras makan malem bersama. Bibi udah duga bakal kaya gini, tuh sekarang tangan Aden yang jadi korban besok-besok apa,"

"Gak papa Bi, lagian cuman tangan juga ini mah kecil,"El mengangkat tangannya yang di perban lalu menggerak-gerakannya.

"Jangan di gituin,"Bi Ratih menarik tangan El agar diam"Bibi percaya deh sama Aden, kalo gak papa tapi tangannya jangan di gerakin kaya gitu,"

"Den El tunggu ya. Bibi mau ambil makan dulu ke dapur, tadi kan Den El belum sempet makan pasti laper,"Bi Ratih berdiri dari duduknya.

El hanya mengangguk mengiyakan, lagian dia memang lapar. Membiarkan Bi Ratih mengambil makanan untuknya.

Memandang langit-langit kamar miliknya, kamar yang gelap dengan perpaduan warna hitam putih. Cukup banyak lukisan yang di simpan di pojok kamar, lukisan yang di lukisnya sendiri.

El menghela nafas, suasa rumah ini terasa begitu sepi tak ada perubahan dari seiring berjalannya waktu. Semakin hari, keluarga semakin terasa asing.

Kemarin saat kedatangan Papahnya Paris rumah terasa menjadi ramai, tapi bukan ramai dengan kehangatan, ataupun tawa kebahagiaan. Melainkan terasa ramai karna perdebatan yang semakin memecah belah keluarganya, keadaan semakin memburuk.

Keluarganya terasa semakin jauh, dekat namun susah di gapai, ada tapi sosoknya tidak ada. Semuanya terasa begitu asing, seolah mereka hidup masing-masing tanpa pernah mengenal.

Lelaki itu meremas bantal yang berada di pangkuannya, matanya memanas tak mampu menahan sesak di dadanya. Meskipun kakinya sudah tak berpungsi tapi hati dan otaknya masih berpungsi.

El sedih, jika mengingat penyebab awal mula perpecahan keluarganya adalah ke lumpuhan yang dia alami. Padahal meskipun kakinya sudah tak berpungsi tapi hati dan otaknya masih berpungsi.

"Den Nangis?"

Dengan beburu El mengusap air matanya yang tiba-tiba keluar, lelaki itu menoleh ke arah Bi Ratih yang berada di ambang pintu. Dia baru menyadari kehadiran wanita itu.

Bi Ratih mendekat dengan sepiring makanan dan minuman yang berada di tangannya, wanita itu kembali duduk di depan El.

"Kalo Den El mau curhat Bibi siap dengerin, jangan di pendem sendiri lampiasin den ceritain,"Perkataan yang begitu lembut.

El memandang wajah Bi Ratih yang teduh, terlihat sekali jika wanita itu begitu tulus. Hal yang membuatnya nyaman, di dalam diri Bi Ratih seolah tertanam sosok keibuan yang dia rindukan.

"Gak ada Bi, El juga gak tau apa yang lagi El rasain bingung,"Ungkapnya, jujur El ini bukanlah tipikal orang yang mudah memahami perasaannya. Jangankan memahami perasaan orang lain, perasaan saja dia masih bingung.

"Ya sudah, tapi kalo Den El butuh teman curhat Bibi siap dengerin. Nih makan dulu, abis itu istirahat besok sekolah,"Bi Ratih menyodorkan makanan yang dia bawa sedangkan air putihnya dia taruh di naskas samping ranjang.

Nadi Tanpa Benua (Berlanjut)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang