7

1.3K 91 4
                                    

"Gue, salah lagi? Yah, biasa aja. Gue harusnya udah tau, di mata orang tua gue, gue gak pernah benar. El lo harus sadar diri, bukan merasa si paling tersakiti. Jangan lebay!."

"By:El

Semua barang-barang melayang di udara, suara bantingan barang yang pecah begitu nyaring berbarengan dengan umpatan-umpatan kata-kata kasar dan teriakan.

Saras, dengan wajah memerah dan jejak air mata di pipinya, melempar semua barang yang ada di kamarnya. Wanita itu berdiri di depan cermin dengan napas yang memburu menahan amarah, semua barang-barangnya sudah berceceran ke mana-mana.

Baru saja dia mendapat telepon dari Paris, mengabarkan bahwa istri keduanya telah hamil. Yang membuat hatinya panas.

Dia mengusap pipinya dengan kasar, mencoba menghapus air mata yang terus mengalir. Namun, air mata itu kembali jatuh, membasahi pipinya yang memerah.

"Kenapa, Mas!?" Saras berbicara pada bayangan di cermin, suaranya penuh emosi. "Kenapa kamu lebih memilih wanita murahan? Seperti dia, bukan aku? Aku ini cantik, pintar, dan setia. Tapi kenapa kamu memilih jalang itu yang tak sebanding denganku?"

Saras menghela napas, mencoba menenangkan diri. "Dia pikir dia lebih baik dari aku? Lebih cantik? Coba pikir lagi!" mengepalkan tangan, mencoba menahan amarahnya. "Dia pikir dia bisa menemukan wanita seperti aku lagi?" Saras tertawa sinis, "Kenapa! KENAPA?"

Saras sudah seperti orang gila, berbicara sendiri di depan cermin sambil memperhatikan wajahnya yang masih tampak awet muda. Rambutnya sudah acak-acakan ulahnya sendiri.

Menggenggam erat vas bunga di tangannya, Saras menatap cermin dengan tatapan liar. Dalam bayangan cermin, dia melihat dirinya: wanita yang cantik, pintar, dan setia. Dia melihat dirinya yang telah dikhianati, yang seharusnya itu tak pantas dia alami.

Tanpa pikir panjang, dia melemparkan vas bunga itu ke arah cermin. Bunyi benturan keras terdengar, diikuti oleh suara pecahan kaca yang berjatuhan. Cermin itu pecah berkeping-keping.

Saras berteriak, otaknya memutar mengingat perkataan Paris beberapa waktu lalu tentang alasannya ingin menikah. Seketika, tangannya terkepal kuat. Wanita itu keluar kamar sambil berteriak, memanggil El yang menurutnya patut disalahkan. Ini semua gara-gara dia.

"El!" teriaknya, suaranya bergema di seluruh rumah. Dia merasa semua ini adalah salah El, dan dia tidak bisa menahan diri untuk tidak menyalahkan lelaki itu.

Berlari menuruni tangga, mencari El di setiap sudut rumah. Merasa seolah-olah dia sedang kehilangan akal, tapi dia tidak peduli. Dia hanya ingin menyalahkan El, ingin melepaskan semua rasa sakit dan kekecewaan yang dia rasakan.

"El, keluar kamu!" teriak Saras lagi, suaranya penuh dengan amarah dan keputusasaan. Dia merasa seolah-olah dia sedang berada di ambang kegilaan, dan tidak bisa menahan diri untuk tidak melampiaskan semua rasa sakitnya.

"Kemana anak itu?"Saras menutup kencang pintu kamar anaknya saat tidak ada lelaki itu di sana.

El, yang baru saja pulang dari rumah Kia, tampak terkejut saat pintu rumah dibuka dan dia disambut oleh wajah marah Saras. Dalam kursi rodanya, dia baru saja melewati pintu setelah diantar pulang oleh Mang Yayan, sopir yang biasa membantunya.

"Kamu habis dari mana?" tanya Saras, suaranya tajam dan dingin. Bukan karena dia benar-benar peduli, tapi karena merasa tertunda untuk melampiaskan kekesalannya. Wanita itu menatap anaknya dengan tatapan tajam, menunggu jawaban dari lelaki itu. El, yang masih terkejut dengan penampilan Saras, hanya bisa menelan ludah dan meremas bajunya sendiri.

"JAWAB!!"Sentak Saras tak sabaran.

"Apa kamu tuli, El?" Menambahkan, suaranya sinis. "Saya minta kamu menjawab!"

"El...dari taman," El tidak sepenuhnya berbohong.

"Apa kamu pikir dengan pergi dari rumah tanpa memberi tahu siapapun akan membuat saya khawatir dan mencarimu, El?" tanya Saras sinis. "Berhenti bersikap seperti orang yang selalu mencari perhatian! CAPER!"

Dalam keadaan marah, Saras berjalan mendekat. Dia meraih kerah baju anaknya dan menariknya, membuat El terjatuh dari kursi rodanya.

Lelaki itu meringkuk di lantai, menahan rasa sakit yang menusuk dari punggungnya. Dia meremas karpet, mencoba bertahan, menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan Saras, tidak ingin  Saras melihat penderitaannya.

"Semua ini gara-gara kamu, El!" Saras berteriak.

"Apa yang El lakuin, Mah?" tanyanya, suaranya hampir tidak terdengar. Dia benar-benar tidak tahu apa salahnya.

"Jangan pura-pura bego, kamu!" Saras mengejek, suaranya sinis. Tidak ingin tertipu dengan wajah sok polos anaknya yang sengaja berpura-pura tidak tahu tentang apa yang telah terjadi.

"Suami saya menikah lagi dan istrinya sedang hamil. Dan kamu tahu apa? Semua ini gara-gara kamu!."

Lelaki itu meremas karpet berbulu, kembali teringat dengan apa yang dia lihat di taman tadi. Papahnya bermesraan dengan wanita lain, tapi kenapa dia yang disalahkan?. Padahal yang berbuat salah adalah papahnya, bukan dia.

"Kenapa El yang disalahin, Mah? Apa salah El?."El merasa seolah-olah dia menjadi korban dari situasi yang tidak dia ciptakan.

"Bego! Kamu bertanya apa salahmu? Padahal sudah jelas, suami saya menikah lagi karena dia menginginkan anak yang sempurna, tidak lumpuh sepertimu. Kenapa kamu harus kecelakaan dan lumpuh! KENAPA EL!."Saras mengguncangkan tubuh anaknya yang meringkuk tak menghiraukan El yang berteriak kesakitan.

"Mah sakit, M-ah..."El memengang tangan Saras yang mencekik kuat lehernya, napasnya terhambat.

"Ini gak seberapa, dengan apa yang saya alami. Lebih baik kamu mati!"

"El m-ohon, Mah jangan,"

El tak bisa berbuat banyak, hanya sebagian tubuhnya yang masih berfungsi. Dari pinggang hingga kaki, dia lumpuh dan tak berdaya. Matanya sayup, hampir terpejam, namun Saras masih mencekik lehernya dengan semakin kuat. Dia sudah pasrah jika dia akan mati sekarang.

"Den!"BI Ratih yang baru membuka pintu langsung berlari saat melihat El sudah lemas bahkan Saras masih mencekiknya. Dia baru pulang dari supermarket membeli bahan-bahan untuk makan malam.

"Nyonya lepas nya."BI Ratih menarik lengan Saras kuat.

"Jangan ikut campur!"Saras mendorong tubuh Bi Ratih sampai membuat wanita paruh baya itu terjengkang.

BI Ratih bangun kembali; wajahnya sudah panik bercampur khawatir saat melihat wajah El sudah memucat, bahkan bibirnya sudah mulai memutih.

"Den El pingsan. Nyah! Harus segera dibawa ke rumah sakit. Kasihan Den El, dia anak Nyoya. Lepas!" Bahkan BI Ratih meninggikan suaranya, saking takut anak majikannya kenapa-kenapa sudah dia anggap anak sendiri, berhasil membuat sebelah tangan Saras terlepas membuat wanita itu melotot tajam.

"Berani kamu membentak saya! Biarkan saja anak ini mati!" Seolah buta dengan anaknya yang sudah tak berbatuk lagi, bahkan tak merespon apapun. Matanya terpenuhi dengan kebencian, hasrat ingin membalaskan.

Karena kesal El yang tak lagi merespon, membuat Saras lelah sendiri. Wanita itu berdiri meninggalkan anaknya yang sudah tak berdaya.

Sementara itu, Bi Ratih segera merangkul kepala El. Tangannya dengan hati-hati mengusap leher lelaki itu yang berlumuran darah akibat cakaran, tampak memar di area tersebut. Dalam keadaan terisak, Bi Ratih berteriak memanggil Mang Yayan, memohon bantuannya untuk segera membawa El ke rumah sakit.

Gimana pratnya lanjut gak nih pendek aja, Pote banyak prat banyak.
Kalo Pote sedikit maka pratnya sedikit,
Apa adanya aja sayah mah

Nadi Tanpa Benua (Berlanjut)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang