"Nares udah bangun."
------------------Derap langkah yang tergesa-gesa mulai memasuki lorong ruangan tempat Nares di rawat. Mendengar bahwa Nares telah bangun, Jendral dengan penuh semangat membawa tungkainya berlari kecil dari parkiran mobil.
Kriet...
Pintu ruangan di sana terbuka. Sorot matanya langsung tertuju pada salah satu Adiknya yang tampan meski bibirnya pucat dan tak lagi kemerahan.Raut wajah bahagia tak mampu Jendral sembunyikan, genggaman jemari pada sang Adik sudah dengan jelas mengindikasikan bahwa ia merindukan tatapan ini. Tatapan mata yang mirip dengan almarhumah Ibu, dan memang hanya Nares yang memilikinya.
"Nares, Abang minta maaf atas segala perlakuan Abang yang udah nyakitin perasaan Nares. Maaf Nares.. Maaf..." sesal nya dengan segala keresahan yang ia tumpahkan semuanya.
"Abang nggak perlu minta maaf, Nares yang udah kelewat batasan, Nares kalut sama keadaan, Nares pikir dengan nyiksa diri, Nares bisa puas, ternyata Nares malah makin nyusahin Abang." ucapnya.
"Abang pasti capek banget, ya? Capek ngurusin Nares, Cendana, Jaidan yang masih bisa istirahat di atas ranjang rumah sakit, sedangkan Bang Jendral sendiri udah berapa hari nggak istirahat?" Jemari Nares merambat perlahan menyentuh pipi sang Abang, dan berhenti pada kantung mata yang sejak awal menarik atensinya.
"Nggak ada yang benar-benar bisa istirahat di dunia ini, Nares. Bahkan disaat kita mati sekalipun, kehidupan dunia tetap akan berjalan. Kalo Nares pikir Abang capek ngurusin adik-adik Abang, Nares salah. Abang nggak pernah capek ngurusin kalian. Kalopun telapak kaki Abang harus berdarah-darah, Abang rela."
Flashback...
"Abang punya enam adik yang sekarang Abang tanggung setelah Bapak dan Ibu pergi. Abang punya tanggung jawab penuh atas ke-enam adik-adik Abang. Abang bahkan nggak peduli sekalipun telapak kaki Abang berdarah buat cari uang demi kebutuhan hidup adik-adik Abang. Abang berusaha keras jadi panutan yang baik buat ke-enam adik-adik Abang karena Abang nggak mau adik-adik Abang ada yang salah langkah dan berujung penyesalan dikemudian hari, dan kalaupun Abang mati di usia muda, setidaknya Abang bisa tenang."
Jendral terdiam. Kalimat dari Bang Marko kembali terputar dalam ingatannya. Terasa dejavu dengan posisinya yang kini merasakan sebagai sosok Bang Marko.
"Bang..." kalimat Nares tertahan.
"Keluarga kecil kita bisa hidup bahagia lagi, kan?"
•••
Ruang bernuansa putih dengan gorden berwarna abu-abu sedang dibalut hangat oleh tawa kecil dari kedua insan yang berada di bawah atap yang sama. Posisi yang lebih muda kini tengah duduk di atas ranjang dengan kedua kaki bersila, sementara yang lebih tua mendudukkan dirinya di tepi ranjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang 7 Anak Bapak [Sudah Terbit]
Fanfic[Buku tersedia di shopee Galeriteorikata, Chocovan, dan Sale Novel] Kata Bang Marko, jadi anak bungsu di keluarga Bapak Winarto dan Ibu Winarti adalah salah satu keinginan terbesar para abang. Maka dari itu, Jaidan selaku anak bungsu disuruh banyak...