[18] Belum berakhir

2.6K 388 57
                                    

Saat kakinya yang berdarah sudah tak mampu menapak, salah satu warga yang melihat keberadaan Bang Jendral langsung membopong tubuh itu untuk ikut menaiki ambulans bersama keempat saudaranya.

Bang Jendral seperti raga yang kehilangan nyawa, ia tidak bersuara dan hanya menatap kosong keempat anggota keluarganya sambil menjatuhkan air mata.

Pikirannya buntu, tidak ada jalan keluar selain berputar-putar pada rentetan kejadian yang datangnya bersamaan.

Bang Marko, Haekal, Bang Jun, Nares, Jaidan dan Cendana. Satu-satunya tempat Bang Jendral untuk pulang justru meninggalkan dirinya sendirian.

Apa lagi yang ia dapatkan setelah ini? Ataukah dirinya ikut menyerah saja agar Tuhan tau bahwa ini sudah melebihi dari batas kemampuannya?

🥀

Bang Jendral kembali ke rumah sakit tempat Bang Haekal di rawat, bukan karena ia sudah selesai mengunjungi kediaman, melainkan karena mengantarkan keempat saudaranya yang lain ke rumah sakit tersebut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bang Jendral kembali ke rumah sakit tempat Bang Haekal di rawat, bukan karena ia sudah selesai mengunjungi kediaman, melainkan karena mengantarkan keempat saudaranya yang lain ke rumah sakit tersebut.


"Jendral, kamu nggak apa-ap---?"

"Saya capek, saya udah nggak kuat ngejalanin hidup kalo ujiannya sebanyak ini." tidak ada lagi senyumannya yang terukir, tidak ada lagi mata bulan sabitnya yang tercetak, hanya ada kesedihan dalam siratan matanya.

"Jendral, aku paham, tolong tenang dulu, ya.." Dokter Diana mendudukkan Bang Jendral dengan tangan yang mengusap-usap punggung belakang agar sang empu tenang.

"Dokter di IGD lagi nanganin saudara-saudara kamu, tolong tenang, jernihin pikiran kamu, di luar sana masih banyak yang berjuang mati-matian untuk tetap hidup, kamu yang sehat jasmani jangan mau kalah sama mereka." tuturnya. Tapi telinga dan mata Bang Jendral sudah tertutup rapat, ia tidak mampu berpikir jernih. Semuanya sudah seperti potongan puzzle yang jika tersusun akan menjadi rangkaian kejadian paling menyakitkan.

"Jendral, dalam sebuah rumah itu butuh pilar, kamu satu-satunya pilar yang masih bertahan sampai sejauh ini, aku bukan bermaksud ingin menggurui, tapi aku berharap saat ini kamu bisa jadi motivasi untuk saudara-saudara kamu yang lagi berjuang di atas brankar rumah sakit."

"Kamu harus ingat satu hal, Tuhan tidak akan membebankan seseorang melebihi batas kemampuan mereka. Kalau kamu lagi di fase paling rendah, ayo bangkit perlahan-lahan, karena Tuhan tau kamu mampu, itu sebabnya semua ini terjadi untuk menaikkan derajat kamu."

"Sekarang udah cukup tenang?" tanya Dokter Diana, ia hanya berharap kata-kata yang keluar tadi mampu membuka jalan pikiran laki-laki di depannya.

Tidak ada jawaban dari Bang Jendral, tapi kepalanya yang menunduk semakin turun, menandakan laki-laki di sana mendengarkan kalimatnya dengan baik, Diana paham bahwa Bang Jendral dalam posisi terpuruk.

Ya, sosok itu kacau se-rentan kaca yang mudah pecah.

•••

"Dokter bilang kalau Jaidan lumpuh sebagian, dia cuma bisa menggerakkan tubuh sebelah kirinya." Dokter Diana mendorong pelan kursi roda seraya menemani Bang Jendral ke belakang taman rumah sakit. Kedua telapak kaki Bang Jendral yang diperban itu mengalami pembengkakan hingga ia terpaksa menggunakan kursi roda.

Tentang 7 Anak Bapak [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang