•Pada dasarnya, orang-orang tidak akan pernah mengerti rasa sakit yang kita rasakan, mereka hanya akan berlomba-lomba membandingkan dengan rasa sakitnya sendiri.•🍂
"Haekal, Abang di sini, kata dokter Diana, Haekal sempat drop, ya? Maaf, Abang nggak ada di samping Haekal kemarin."
Bang Jendral menggenggam tangan kanan adiknya dengan ibu jari yang bergerak mengelus lembut punggung tangan Bang Haekal.
"Abang kemarin lagi fokus ngurusin pemakamannya Bang Jun, Nares juga lagi butuh dukungan dari Abang, Cendana juga lagi nggak bisa ditinggalin, Abang khawatir dia nyakitin dirinya lagi."
"Haekal, jangan tambahin lukanya Abang ya, Kal, Abang mohon.."
"Haekal harus tetap ada di samping Abang, kalaupun nyawa Abang sebagai taruhannya, Abang rela selama Haekal bisa hidup normal lagi."
"Abang takut, Kal..."
"Abang takut sendirian di sini."
Bunyi monitor detak jantung menjadi hal yang tidak asing lagi di telinga Bang Jendral, ia selalu ditemani bunyi itu setiap berkunjung menemui Bang Haekal.
Sempat beberapa kali berada di fase putus asa setiap Bang Jendral melihat keadaan Bang Haekal di ruang ICU, banyaknya alat-alat penunjang kehidupan yang terpasang di tubuh adiknya membuat ia sering tertampar dengan harapannya sendiri.
Kepala itu tertunduk dengan mata terpejam. Jika boleh Bang Jendral meminta sekali lagi dengan penuh harap, ia ingin melihat adik tengahnya ini membuka mata kembali. Dia yakin semuanya tidak ada yang mustahil selama Tuhan ikut campur tangan. Setidaknya, dari banyak luka yang telah menggores hati, dan dari banyak air mata yang keluar selama ini, semoga kesembuhan Bang Haekal menjadi obat dari segalanya.
Pergerakan jari tangan yang terasa nyata membuat Bang Jendral mengangkat kepalanya. Genggaman Bang Jendral melonggar dikala jari tangan Bang Haekal yang ia genggam perlahan-lahan mulai bergerak.
Raut wajah sendu yang tidak bisa menyembunyikan keterkejutan, semakin memperjelas keadaan di ruangan.
"Haekal?"
Panggil Bang Jendral dengan satu harapan yang melambung tinggi.
Tapi, tepat saat suara Bang Jendral terdengar, jari-jari itu sudah tidak bergerak. Apa dirinya sedang berhalusinasi?
Lantas, helaan napas berat dengan bahu yang kembali turun telah menerbangkan segala harapan kosong. Seharusnya ia tidak boleh terlalu berharap, ujungnya dikecewakan kembali, kan.
Bang Jendral tersenyum miris, kakinya hendak membawa dirinya untuk bangkit dari sana, sebelum suara lain menghentikan gerakannya.
"A--ab-abang.."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang 7 Anak Bapak [Sudah Terbit]
Hayran Kurgu[Buku tersedia di shopee Galeriteorikata, Chocovan, dan Sale Novel] Kata Bang Marko, jadi anak bungsu di keluarga Bapak Winarto dan Ibu Winarti adalah salah satu keinginan terbesar para abang. Maka dari itu, Jaidan selaku anak bungsu disuruh banyak...